Beginilah Hizbut
Tahrir dalam situsnya memfitnah saudaranya sesama muslim, menjatuhkan,
merusak nama baik demi kepentingan kelompoknya. Sikut sana sikut sini,
serasa tidak berdosa dan merasa benar sendiri. Artikel lengkapya silahkan baca dibawah ini, ini yang mereka tulis dalam situsnya, tidak saya kurangi atau saya lebihkan tulisannya:
--------------------------------------------------------------------------
Soal:
Saat Timur Tengah tengah dilanda gelombang revolusi rakyat, yang
dikenal dengan Arab Spring (Musim Semi Arab), dengan tuntutan
penggulingan rezim diktator yang bertangan besi (militeristik),
tiba-tiba muncul slogan negara sipil (civil state atau dawlah
madaniyyah). Bagaimana fakta negara sipil ini, serta status hukumnya
dalam pandangan Islam?
Jawab:
Pertama: Harus dipahami terlebih dulu fakta revolusi rakyat
yang kini masih bergulir, bahwa revolusi ini merupakan manifestasi dari
dua hal: (1) Hilangnya rasa takut umat terhadap para penguasa mereka,
yang nota bene telah memerintah dengan tangan besi dan menindas
mereka serta menjadi pelayan negara kafir penjajah selama beberapa
dekade sebelumnya; (2) Kembalinya kesadaran dan perasaan keislaman
mereka setelah selama ini Islam benar-benar dijauhkan dari kehidupan
mereka. Dua hal inilah yang setidak-tidaknya mendorong rakyat di Timur
Tengah untuk bangkit melakukan perlawanan rakyat, baik di Tunisia,
Mesir, Libya, Yaman, Bahrain dan terakhir Suriah.
Karena itu, fakta revolusi rakyat ini merupakan fakta nyata
kebangkitan umat dari berbagai penderitaan dan penindasan yang selama
ini terjadi. Dengan kata lain, ini merupakan gerakan murni perubahan,
bukan rekayasa. Hanya saja, Amerika sebagai penguasa di Timur Tengah,
Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu tidak ingin kehilangan
kontrol mereka terhadap kawasan ini. Dengan segala daya dan kekuatan
mereka, mereka berusaha membajak revolusi rakyat ini. Di sisi lain, umat
yang menginginkan perubahan ini tidak memiliki kesadaran Islam dan
politik yang sempurna sehingga dengan mudah ditipu. Contoh terbaik
adalah tuntutan umat untuk menegakkan syariah dan di Khilafah di Tunisia
dan Mesir, misalnya, akhirnya dikanalisasi oleh Amerika melalui
penguasa militer dengan menggelar Pemilu parlemen yang dimenangkan oleh
representasi Ikhawanul Muslimin dan Salafi. Namun, baik Ikhwan maupun
Salafi sama-sama berhasil diperalat untuk menyalurkan kepercayaan umat,
bahwa seolah-olah mereka mewakili aspirasi umat. Kemudian mereka sendiri
telah dijinakkan dan tidak akan menyalurkan aspirasi umat apalagi
menegakkan syariah dan Khilafah di Mesir. Sebagai gantinya, mereka
disodori konsep “negara religius” atau “negara sipil”, dan sebagainya.
Kedua: Istilah “negara sipil”, civil state atau dawlah madaniyyah
adalah istilah yang dibuat oleh Amerika, dan negara-negara kafir
penjajah lainnya, sebagai alternatif menggantikan “negara militer”, military state atau dawlah askariyyah.
Seolah-olah masalah yang menimpa mereka selama ini semata-mata karena
negara militer dengan tangan besinya, atau terampasnya kebebasan
bersuara (freedom of speech), atau karena negaranya tidak
demokratis. Padahal masalah utama mereka adalah karena Islam tidak
diterapkan dalam kehidupan mereka. Umat memahami dan menyadari itu
sehingga mereka pun menuntut syariah dan Khilafah. Namun, tuntutan ini
tidak dibangun dengan kesadaran Islam dan politik yang sempurna sehingga
dengan mudah dibelokkan, termasuk dengan menggunakan tokoh-tokoh dan
gerakan keagamaan, seperti Ikhwan dan Salafi. Mereka juga tidak
mengerti, bahwa konsep “negara sipil” adalah wajah lain dari negara
sekular, yang nota bene selama ini menjadi biang kerok penindasan mereka.
Karena itu, konsep “negara sipil” pada dasarnya adalah konsep negara
yang menjadi antitesis dari “negara militer”. Keduanya memang berbeda
dari sisi pendekatan. Jika “negara sipil” memberikan ruang dan peran
kepada masyarakat untuk berpolitik dan berkuasa sehingga ada jargon vox populi vox day (suara
rakyat suara tuhan), maka di dalam “negara militer” sebaliknya. Ruang
dan peran masyarakat dipersempit, bahkan nyaris tidak ada, karena ruang
dan peran itu telah dirampas oleh militer yang menjadi penopang
kekuasaan para rezim despot.
Meski demikian, baik “negara sipil” maupun “negara militer” adalah
sama-sama negara sekular yang menolak agama, tegasnya Islam, untuk
dijadikan sebagai dasar negara. Keduanya juga sama-sama menolak syariah
Islam untuk dijadikan sebagai hukum positif dan perundang-undangan
negara. Dengan kata lain, keduanya adalah sama-sama merupakan bentuk
negara yang bertentangan dengan Islam. Bahkan dengan tegas bisa disebut
sebagai konsep kufur, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam.
Jika pun keduanya sama-sama menerima Islam, maka Islam diterima hanya
sebagai “nilai”, bukan karena Islamnya, yang dibangun dengan akidah dan
standar hukum syariah.
Karena Islam diterima sebagai “nilai”, bukan sebagai akidah dan
standar hukum syariah, maka kedudukan “nilai Islam” sama dengan
“nilai-nilai” yang lain, seperti keadilan (justice), persamaan hak (equality), persamaan kedudukan (egality), kemanusiaan (humanity), kejujuran (trust), transparansi (tranparancy), akuntabilitas (acuntability)
dan sebagainya. Padahal basis nilai-nilai tersebut jelas berbeda. Jika
keadilan, persamaan hak, persamaan kedudukan, kemanusiaan, kejujuran,
transparansi dan akuntabilitas dalam Islam basisnya adalah akidah Islam
dan tolok ukurnya adalah syriah, maka bagi yang lain jelas berbeda. Ini
artinya, jika “nilai-nilai” tersebut diadopsi, maka yang terjadi adalah
sinkretisme, yaitu mengkompromikan basis dan tolok ukur Islam dengan
basis dan tolok ukur kufur.
Ketiga: mengadopsi dan menjalankan konsep “negara sipil” dalam kehidupan bernegara, selain bertentangan dengan Islam (mukhalafah al-Islam), juga bisa disebut bid’ah dalam pengertian yang sesungguhnya. Bid’ah itu bukan hanya penyimpangan (mukhalafah), tetapi penyimpangan terhadap metode yang telah digariskan oleh Nabi saw (mukhalafatu at-thariqah al-lati rasamaha an-Nabi).
Dalam bernegara, Nabi saw. telah menggariskan hukum syariah yang jelas
dan tegas, yaitu tentang kewajiban menegakkan Khilafah, tentang bentuk
dan sistemnya, serta menjadikan Khilafah sebagai satu-satunya metode
untuk menerapkan syariah. Karena itu, ketika kelompok atau partai
menyatakan hendak menerapkan syariah, dan menjalankan negara dengan
syariah, kemudian tidak mengikuti metode Rasulullah saw., maka sama
dengan orang yang melakukan shalat, tetapi tidak menggikuti metode Nabi
saw. Di sinilah letak bid’ah dalam pengertian yang sesungguhnya. Bahkan bisa disebut sebagai ra’s al-bid’ah.
Mungkin ada yang bertanya, kalau dalam shalat kan ada hadis Nabi saw.:
فَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي [رواه البخاري]
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sedang shalat (HR al-Bukhari)
Dalam hal ini, tatacara shalat (kaifiyyah as-shalat) dengan jelas telah diajarkan oleh Nabi saw. sehingga berlaku di dalamnya hukum bid’ah, jika seseorang melanggar dari ketentuan ini. Namun, dalam bernegara kan tidak ada penjelasan seperti itu?
Pernyataan seperti ini jelas keliru. Pertama: jika kita
meneliti lebih jauh, sepanjang 23 tahun Nabi saw. berdakwah, mulai dari
Makkah 13 tahun, dan di Madinah 10 tahun; mulai dari Negara Islam belum
ada, hingga Negara Islam berdiri di Madinah, saat seluruh aktivitas Nabi
saw. tercatat dengan detil dalam lembaran hadis maupun sirah,
maka ini sebenarnya sudah cukup menjadi bukti, bahwa urusan ini bukanlah
tanpa penjelasan. Sebaliknya, semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw.
Karena itu, Nabi menyatakan:
«تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمُحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاََّ هَالِكٌ»
Aku telah meninggalkan kalian di atas jalan yang terang, malam
harinya sama dengan siang harinya, yang tidak akan tersesat setelahku
dari jalan itu kecuali orang yang celaka (Dikelurkan oleh Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/5).
Kedua: Nabi saw. juga dengan tegas menyatakan:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ».
Kalian harus berpegang dengan sunahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin setelah aku. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah sunah
itu dengan gigi geraham (Dikelurkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
Ibn Majah, at-Tirmidzi dan disahihkan oleh al-Hakim yang berkomentar:
[Hadis sahih] dengan syarat al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini tegas tegas memerintahkan agar kita mengikuti sunnah Nabi
saw. dan Khulafaur Rasyidin setelah Baginda; bukan hanya sunnah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali; tetapi juga para Khulafaur Rasyidin setelah
mereka seperti al-Hasan bin Ali dan Umar bin Abdul Aziz, misalnya.
Sunnah para khalifah itu jelas termasuk mengikuti dan berpegang teguh
pada tuntunan Nabi saw. yang mereka jalankan, yaitu menjalankan syariah
dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan bernegara. Hadis ini sekaligus
menjadi dalil bahwa mengambil, mengikuti dan mempertahankan sunnah
(tuntunan) Nabi saw. dalam masalah pemerintahan ini hukumnya wajib.
Maka dari itu, aneh jika selama ini mereka getol menganggap orang
lain yang tidak mengikuti sunah Nabi saw. dalam beribadah dicap bid’ah, tetapi mereka sendiri mempraktikkan bid’ah dalam berpolitik dan bernegara. Bahkan mereka tidak tahu dan tidak merasa jika apa yang mereka lakukan itu merupakan bid’ah yang nyata. Lebih dari itu, ini bukan hanya kesesatan (dhalal), tetapi juga menyesatkan orang lain (mudhill). Karena itu, mereka tidak hanya berdosa, karena melakukan pelanggaran terhadap syariah, tetapi juga berdosa karena melakukan bid’ah.
Bahkan mereka juga akan mendapatkan dosa-dosa rakyatnya yang tidak
menjalankan syariah akibat dari pilihan politik mereka.
Ini sebagaimana
sabda Nabi saw.:
«مَنَّ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوَزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ»
Siapa saja yang menggariskan tuntunan yang buruk, maka dia pasti
akan menerima hasilnya, dan hasil dari orang yang mengerjakannya hingga
Hari Kiamat (Lihat, al-Marudi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqh as-Syafi’i, III/236)
Fal ‘iyadhu bi-Llah. [KH. Hafidz Abdurrahman ]