Senayan - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mencatat sejak dilantik jadi presiden, Joko Widodo sudah banyak melakukan hal-hal yang kontroversi berkaitan dengan konstitusi. Padahal menurut Fahri, sudah banyak pakar yang memperingatkan kepada Jokowi untuk hati-hati.
"Saya mencatat sebetulnya ada beberapa hal yang sebenarnya presiden tidak perlu kontroversi konstitusionalitas. Dan itu sudah diingatkan banyak pakar, apa boleh buat ada problem itu biasanya itu berat bagi presiden untuk menanggung beban akibat politiknya, karena kita tentu enggak mungkin diam," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/11).
Fahri mencontohkan, kontroversi pertama dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Yasonna sudah mengeluarkan surat pengesahan kepengurusan Romahurmuziy yang sah sebagai ketua umum di PPP.
"Misalnya yang pertama itu surat Menkum HAM terhadap PPP soal hasil Muktamar Surabaya, sekarang sudah terbukti diberi putusan sela untuk ditunda oleh PTUN," ujar dia.
Kontroversi kontitusi kedua, kata Fahri yakni tentang surat pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta definitif. Dia menilai, hal itu mengundang kontroversi karena hanya diputuskan oleh ketua DPRD DKI tanpa wakil-wakilnya.
"Presiden sudah disuruh nyodok lagi. Jadi presiden sudah nyodok di PPP, sekarang nyodok lagi di kasus Ahok. Bahkan melibatkan Ahok di dalam pelantikan di Istana," imbuhnya.
Tak hanya itu, kontroversi selanjutnya yakni soal menaikkan harga BBM disaat harga minyak dunia turun drastis. Hal ini berpotensi melanggar UU APBN-P tahun 2014.
"Kemudian soal kenaikan BBM ini presiden nyodok lagi. Memang ada kontroversi di dalam pasal APBN-P 2014, Pasal 14 dan Pasal 13. Pasal 14 itu dicabut soal ijin ke presiden, tapi Pasal 13 memberikan catatan tentang keharusan berkonsultasi apabila harga terlalu rendah terhadap minyak dan kurs. Ini juga menyeret presiden terhadap konstitusionalitas," jelas Wasekjen PKS ini.
Fahri menyayangkan kebijakan-kebijakan yang dinilai kontroversi ini terjadi. Menurut dia, harusnya Jokowi bisa membangun kebersamaan dengan baik tanpa membuat kontroversi dalam konstitusi.
"Menurut kami, paling tidak ini tidak baik bagi masa depan stabilitas pemerintahan Jokowi yang seharusnya dari awal dia membangun kebersamaan, pengertian dan kesepakatan-kesepakatan yang tidak berjauhan dengan hukum dan konstitusi," tutur dia.
Fahri menyarankan kepada penasihat presiden di Istana agar tidak mengeluarkan kebijakan yang kontroversi lagi. Nasihat yang harus diberikan, lanjut dia, harus konstitusional.
"Kami menyarankan kepada penasehat presiden, agar presiden jangan terlalu banyak diseret ke dalam persoalan yang kemudian jadi sulit. Jangan dong pakai istilah program kerakyatan tapi itu melanggar hukum. Nasihat kepada presiden itu harus konstitusional, legal, dan menyebabkan kemudian kita tidak perlu banyak beda pendapat," pungkasnya. (Merdeka,19/11)