Kisah
tentang Jokowi sudah banyak kita published, sekarang kita share sisi lain Prabowo Subianto yang tidak pernah terungkap (untold story).
Sedikit orang yang tahu bahwa perkawinan Prabowo Subianto
dengan Titiek Soeharto di TMII pada tanggal 8 Mei 1983, adalah berkat jasa
Jenderal LB Moerdani (LBM). Prabowo, yang pada tahun 1982-1985 berpangkat Mayor
adalah staf khusus Menhankam/Pangab LB Moerdani. Moerdani sudah lama mengamati
Prabowo. Sejak lulus Akmil berpangkat Letda, Moerdani serius mencermati dan menilai
perilaku, karakter dan kinerja Prabowo. Kesimpulannya: Luar Biasa.
Disamping memiliki kejeniusan (IQ 152), Prabowo sangat
berani, patriotik, dan sangat cinta tanah air. Dalam cerita-cerita Jawa,
disebut sebagai Senopati Wirang. Saat itu, Menhankam/Pangab LB Moerdani tahu
persis bahwa Prabowo sudah dijodohkan dengan putri seorang jenderal yang juga
seorang dokter, namun Moerdani diam-diam tidak setuju.
Pada tahun 1982-1985 itu, LB Moerdani adalah tokoh yang
sangat dipercayai oleh Presiden Soeharto. Saran-sarannya didengar dan sering
diterima oleh Pak Harto. Besarnya Kepercayaan Soeharto kepada Moerdani adalah
karena dia selalu menunjukkan loyalitasnya terhadap Soeharto. Jadi LBM adalah
pengaman bagi kekuasaan Soeharto dan Orba.
LB Moerdani kebetulan adalah penganut Katolik, agama yang
sama dengan Ibu Tien saat itu. Sedangkan Pak Harto adalah penganut Islam
Abangan, lebih ke Kejawen (Bhirawa). Moerdani melobi
Ibu Tien agar setuju mengambil Mayor Prabowo menjadi menantu, dan
menjodohkannya dengan Titiek (Siti Hediati Harijadi) Soeharto. Bu Tien akhirnya
setuju dan Pak Harto pun menyetujuinya. Mereka (Pak Harto dan Bu Tien) tidak
tahu bahwa Prabowo sebenarnya sudah bertunangan. Akhirnya tunangan dibatalkan,
dan Prabowo menikahi Titiek.
Semula LB Moerdani berharap Prabowo akan menjadi mata dan telinganya di
Cendana. Menjadi tangan kanan Moerdani dalam menggapai cita-citanya. LB
Moerdani tidak menyangka Mayor Prabowo setelah jadi menantu Soeharto ternyata
malah mengkhianati Moerdani, karena Prabowo lebih berpihak kepada Pak Harto dan
keluarga Cendana.
Moerdani
salah menganalisa dan menilai Prabowo sebagai penganut Islam Abangan, karena
berayahkan sosialis sekuler, ibu dan saudara-saudaranya banyak yang Kristen
atau non muslim. Moerdani merasa tidak berisiko ketika dia memaparkan
rencananya selaku Menhankam/Pangab untuk menghancurkan Islam di Indonesia
secara sistematis. Termasuk rencana Moerdani untuk merekayasa stigma negatip pada umat Islam Indonesia sebagai “ancaman” terhadap
NKRI dan kekuasaan Soeharto.
Contohnya adalah ketika ABRI membantai ratusan umat Islam
pada peristiwa Tanjung Priok. Moerdani melakukan pengkondisian agar Islam
menjadi "musuh" Negara! Sehingga Islam sama dengan "musuh"
Negara!
Moerdani memaparkan bagaimana caranya ABRI menciptakan “terorisme
Islam”, “pembangkangan Islam”, atau “Islamophobia” dan seterusnya.
Lalu menumpasnya secara keji. Moerdani menapaki karier di ABRI dengan cara
menciptakan Islam sebagai “musuh” Negara dan kemudian ditumpasnya. Penghargaan
dan pujian Soeharto didapatkannya karena prestasinya itu.
Ketika Prabowo tahu rencana besar dan rekayasa-rekayasa yang
dilakukan Moerdani dalam rangka membenturkan Islam dengan Pak Harto, dia lalu
membocorkannya. Prabowo melaporkan rencana keji Moerdani terhadap umat Islam
Indonesia kepada Soeharto, mertuanya. Pak Harto kaget, marah dan menyesalkan.
Sebelumnya, Pak Harto sudah lama mendengar adanya rekayasa
petinggi ABRI terhadap sejumlah peristiwa terkait “makar” kelompok Islam, tapi
Pak Harto abaikan. Ia nilai itu hanyalah ekses rivalitas di internal ABRI.
Namun kali ini informasi itu datang dari Prabowo, menantunya sendiri.
Prabowo menilai Moerdani punya agenda lebih besar dengan
merekayasa benturan antara umat Islam dengan Soeharto karena Moerdani ingin
menjadi Presiden. Cita-cita Moerdani menjadi Presiden setelah Pak Harto lengser
sangat besar, namun hanya bisa terwujud jika Islam dan Pak Harto bermusuhan.
Karena jika hubungan umat Islam dan Pak Harto baik dan
normal, maka akan sulit bagi Moerdani yang beragama Katolik menjadi wapres pada
tahun 1988. Pak Harto pasti lebih memperhatikan aspirasi umat Islam saat
penetapan wapresnya pada 1988. Oleh sebab itu hubungan Soeharto dengan Islam
harus dirusak. Selanjutnya, Moerdani berharap, setelah menjabat wapres pada
1988, kemungkinan besar Pak Harto akan mundur pada 1993. Saat itulah otomatis
Moerdani akan menjadi RI-1.
Rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia ini dinilai Prabowo
sangat membahayakan posisi Pak Harto. Karena Islam adalah agama mayoritas di
Republik Indonesia. Akan lebih kecil risikonya bagi Soeharto bila membina
hubungan baik dengan umat Islam yang mayoritas daripada menjadikan Islam
sebagai musuh negara.
Setelah
mendapat laporan dari Prabowo mengenai rencana keji ABRI yang diotaki
Menhankam/Pangab LB Moerdani, Soeharto tidak langsung bertindak. Dia mengamati
secara diam-diam.
Pak Harto diam-diam mencegah rencana keji LB Moerdani dengan
menempatkan dan mempromosikan sejumlah perwira tinggi ABRI yang kuat
keislamannya. Selain mempromosikan perwira-perwira ABRI yang Islam, Pak Harto
juga mempromosikan perwira-perwira dari kesatuan lain yang tidak berhubungan
dengan jaringan Moerdani. Akibatnya Menhankam/Pangab Moerdani tidak lagi bisa
bergerak bebas karena dikelilingi oleh jenderal-jenderal Islam (TNI Hijau). Dia
akhirnya terjepit, tak bisa berkutik.
Puncak kekesalan Moerdani terjadi ketika Pak Harto mencopot
LB Moerdani dari jabatan Panglima ABRI pada tahun 1988 dan menunjuk Jenderal
Try Soetrisno menjadi penggantinya. Try Soetrisno tidak berasal dari Akmil tapi
dari Atekad (Akademi Teknik Angkatan Darat). Bukan pula perwira intelijen,
sehingga tidak ada sentuhan dari Moerdani sama sekali.
Moerdani yang marah dan kecewa terhadap Soeharto kemudian
merencanakan balas dendam besar-besaran dengan rencana untuk menjatuhkan
Soeharto. Sebelum itu, pada tahun 1984, Moerdani berhasil mengompori umat Islam
agar marah kepada Soeharto dengan cara mendorong Soeharto agar menerapkan
kewajiban Azas Tunggal kepada seluruh organisasi politik maupun ormas.
Seluruh ormas dan partai di Indonesia harus mencantumkan
Pancasila sebagai satu-satunya azas. Tidak boleh ada azas Islam atau azas-azas
yang lain. Semua harus berazas Pancasila. Tidak boleh ada yang lain!
Munculnya reaksi keras umat Islam terhadap penerapan Azas
Tunggal Pancasila memang diharapkan sekali oleh Moerdani. Bahkan Moerdani
berupaya mengkondisikan agar umat Islam mau berontak. Jaringan intelijen
Moerdani disusupkan ke ormas-ormas Islam dan ditugaskan untuk mengipas-ngipasi
tokoh-tokoh Islam agar memberontak terhadap Soeharto. Tujuannya agar Soeharto
marah kepada umat Islam dan Islam dinilai sebagai ancaman terhadap Negara dan
Soeharto, dengan demikian ABRI lalu diperintahkan untuk membantai “musuh”
Negara tersebut.
Rencana Benny Moerdani itu kandas, bahkan gagal total, karena
ormas-ormas Islam juga didekati orang-orang Soeharto dan diberi pengertian
perihal kondisi sebenarnya. Moerdani kemudian tahu bahwa penyebab kegagalan
rencana besarnya men-stigmatisasi Islam sebagai “musuh” Negara dikarenakan
laporan Prabowo.
Prabowo sempat “dibuang” oleh Moerdani dengan memutasikannya menjadi
Kasdim (Kepala Staf Kodim), namun beberapa waktu kemudian oleh Kasad Jenderal
Rudini, Prabowo akhirnya dipulihkan. Sejak itu, dalam otak Moerdani hanya ada 2
musuh besar yang harus dihancurkan yakni Prabowo Subianto dan Soeharto.
Moerdani
menyusun rencana strategis
Karena puluhan tahun menjadi “dewa” di kalangan ABRI dan di
lingkungan intelijen, antek-antek Moerdani masih banyak tersebar. Dua orang
yang menonjol adalah Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono. Meski LB Moerdani
sudah tidak jadi Panglima ABRI dan Menhankam, namun dia masih bisa
memerintahkan Hendropriyono untuk mem-back up PDI Megawati atau yang sekarang populer sebagai PDI
Perjuangan alias PDI-P.
Saat itu Megawati adalah simbol perlawanan terhadap Presiden
Soeharto, khususnya melalui PDI. Kongres PDI terpecah menghasilkan PDI kembar.
Keberadaan PDI kembar, yang satu diketuai Soerjadi dan satu lagi dipimpin Megawati,
bisa terjadi karena ada dukungan jenderal-jenderal yang pro-Moerdani.
Keberhasilan Prabowo meyakinkan Pak Harto dan Ibu Tien
terhadap bahaya besar yang sedang direncanakan Moerdani, menyebabkan Pak Harto
dapat menerima dan mempercayai Prabowo sepenuhnya, termasuk saran Prabowo agar
Pak Harto membina hubungan lebih mesra lagi dengan umat Islam.
Penerapan Azas Tunggal Pancasila yang menimbulkan reaksi
keras umat Islam, akhirnya tidak meletus menjadi bencana nasional karena
perubahan sikap Pak Harto ini. Pak Harto mulai mendekati Islam. Akhirnya Ibu
Tien pun memeluk agama Islam dan menjadi mualaf, disusul kemudian dengan Pak
Harto sekeluarga menunaikan Ibadah Haji di Mekah. Pak Harto akhirnya berhasil
membangun hubungan yang harmonis dengan umat Islam. Suatu hubungan baik yang
belum pernah terjalin selama 24 tahun Soeharto berkuasa.
Tahun 1990 merupakan tahun kemerdekaan umat Islam Indonesia
setelah “dijajah” dan “ditindas” selama 24 tahun oleh Orde Baru, Soeharto.
Puncaknya, pada tanggal 7 Desember 1990, organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) didirikan di Universitas Brawijaya, Malang. Dan dari hasil
Pemilu tahun 1993, menteri-menteri kabinet dan petinggi-petinggi ABRI mulai
dijabat para tokoh dan perwira Muslim.
Namun Benny Moerdani dan kelompoknya masih terus mencari jalan bagaimana
menghancurkan Soeharto dan Prabowo. Akhirnya ditemukan cara, yakni penculikan!
Maka terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah warga pada tahun 1997
menjelang Pemilu dan kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan setelah
Sidang Umum MPR 1998.
Saat
terjadi penculikan dan pembunuhan menjelang Pemilu 1997, sama sekali belum ada
tuduhan kepada Kopassus sebagai terduga pelakunya. Namun ketika Tim Mawar
melakukan penculikan aktivis pada tanggal 2-4 Februari 1998 dan 12-13 Maret
1998 terjadi kebocoran operasi.
Kebocoran informasi mengenai operasi Tim Mawar dalam rangka
pengamanan Sidang Umum MPR terjadi karena ada 1 target, yakni Andi Arief, belum
bisa diringkus. Andi Arief sempat kabur, dicari kemana-mana, akhirnya ditemukan
di persembunyiannya di Lampung, Pulau Sumatera. Lalu dibawa ke Jakarta lewat
jalur darat via Bakauheni.
Saat Tim Mawar menaiki kapal feri di Bakauheni, petugas
polisi menghentikan Tim Mawar yang membawa Andi Arief dalam keadaan mata
tertutup kain. Meski Tim Mawar kemudian diizinkan masuk feri setelah
menunjukkan kartu pengenal Kopassus, kejadian ini tetap dilaporkan polisi ke
Den Pom Lampung.
Komandan Den Pom Lampung meneruskan info ini ke Dan Puspom
TNI di Jakarta. Saat itulah info bocor, lalu ditunggangilah kasus ini oleh
oknum-oknum TNI binaan Moerdani. Peristiwa penangkapan Andi Arief di Lampung
yang kemudian dibawa ke Jakarta pada tgl 28 Maret 1998 ini akhirnya ditunggangi
dengan terjadinya kasus penculikan lain.
Penculikan lain atau susulan terjadi pada tanggal 30 Maret
1998 dengan korban Petrus Bima Anugrah, yang dilakukan oleh tim lain yang bukan
Tim Mawar. Sebelumnya tim lain juga sudah menunggangi penculikan Herman
Hendrawan pada tanggal 12 Maret 1998. Para korban ini hilang atau mati dibunuh.
Korban penculikan dari tim lain semuanya mati dibunuh,
mayoritas non-Muslim, agar menimbulkan kesan bahwa penculikan dan pembunuhan
itu dilakukan oleh Kopassus pimpinan Prabowo, jenderal pembela umat Islam
Indonesia.
Fitnah terhadap Prabowo dan Kopassus melalui penculikan dan pembunuhan
warga dan aktifis adalah untuk tujuan akhir melemahkan Soeharto. Kenapa? Karena
untuk menghancurkan Soeharto harus dihancurkan terlebih dahulu penopang utama
kekuasaan Soeharto yakni TNI. Dan kekuatan inti TNI berada di Kopassus sebagai
kesatuan elit yang paling dibanggakan oleh TNI.
Moerdani
cs hancurkan Soeharto dengan cara hancurkan TNI
Pemilihan target korban yang umumnya non-Muslim atau Katolik
dimaksudkan untuk “menghilangkan jejak pelaku” sekaligus memancing perhatian
Dunia. Seolah-olah di Indonesia sedang berkuasa rezim Soeharto yang anti
Katolik dan anti Kristen. Media-media yang dimiliki umat Katolik dan Kristen
pun bersuara sangat keras.
Akibatnya, Prabowo, Kopassus, TNI, dan Soeharto babak belur
dihajar dan difitnah oleh Moerdani cs melalui penunggangan operasi Tim Mawar
ini. Namun Pak Harto masih tetap bertahan. Sampai akhirnya terjadi peristiwa
kerusuhan Mei 1998, yang diawali dengan penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti.
Peristiwa Trisakti ini, jelas ditunggangi oleh kelompok Benny Moerdani dengan
memfitnah Polres Jakarta Barat, Brimob dan Kopassus sebagai pelakunya.
Sementara itu, krisis Moneter yang sedang terjadi saat itu,
diperburuk dengan perampokan fasilitas dana BLBI oleh para bankir China melalui
rekayasa kredit dan tagihan pihak ketiga yang macet dll. Sampai hari ini,
Negara kita masih terbebani utang BLBI sebesar lebih dari Rp 600 triliun, dan
baru akan lunas dibayar melalui APBN hingga tahun 2032 yang akan datang.
Krisis moneter, rekayasa opini, fitnah, dan kerusuhan Mei
1998 menjadi penyebab utama kejatuhan Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Pada
saat terjadinya kerusuhan Mei 1998, kembali TNI, Kopassus dan Prabowo dijadikan
kambing hitam oleh kelompok Moerdani cs yang berkolaborasi dengan konspirasi
global (KG).
Situasi kacau dan tak terkendali tersebut dimanfaatkan para perusuh yang
patut diduga merupakan kesatuan dari loyalis Moerdani cs untuk membakar kota
dan mengeruhkan situasi. Kehadiran sekelompok orang tidak dikenal yang membuat
rusuh dan terkordinir inilah yang dibaca Prabowo sebagai faktor dominan yang
membahayakan negara.
Paska
kerusuhan, dikembangkan opini sampai ke seluruh dunia, seolah-olah telah
terjadi pemerkosaan terhadap wanita-wanita China. Tuduhan itu tidak terbukti
sama sekali. Secara teori pun mustahil ada orang yang sempat dan masih
berhasrat melakukan pemerkosaan di tengah-tengah kerusuhan. Bahkan katanya
dalam melampiaskan nafsu bejat itu mereka sambil meneriakkan takbir. Sungguh
fitnah keji yang tak masuk akal!
Tuduhan itu memang ditargetkan untuk mengebiri TNI,
menjatuhkan Soeharto dan menghancurkan Prabowo. Fitnah itu sukses besar.
Soeharto pun termakan fitnah tersebut. Laporan beberapa jenderal yang langsung
kepada Pak Harto menghasilkan pengusiran Prabowo oleh keluarga Cendana karena
dianggap sebagai pengkhianat. Prabowo tidak diberi kesempatan menjelaskan fakta
sebenarnya kepada Soeharto. Operasi intelijen, penyesatan fakta dan informasi
Moerdani cs, terbukti sukses. Operasi itu sangat rapi, cermat dan dibantu oleh
media-media kolaborator Moerdani seperti harian Kompas Grup dll. Prabowo dicap
pengkhianat Soeharto.
Peran KG (konspirasi global) sangat dominan. Sejak Pak Harto
dan Ibu Tien menjadi mualaf dan mesra dengan umat Islam, Soeharto tidak lagi
jadi “hadiah terbesar” bagi Amerika Serikat. Kebangkitan Islam Indonesia di era
1990-an dinilai menjadi ancaman serius oleh AS, Barat seumumnya, Australia dan
juga Singapura.
Sejalan dengan teori pasca perang dingin, tulisan Samuel P.
Huntington dalam “The Clash of Civilization” (benturan peradaban) terus-menerus
dikembangkan oleh negara-negara Barat terutama AS. Melalui opini di segala
lini, Islam dikembangkan sebagai musuh baru bagi dunia Barat pasca kejatuhan
Komunis Uni Soviet dan Eropa Timur. Islam di negeri ini juga dinilai sebagai
bagian dari ancaman internasional itu.
Upaya penjatuhan Soeharto yang sedang mendorong kebangkitan
kembali Islam di Indonesia setelah 24 tahun “dijajah” bangsa sendiri, telah
dijadikan agenda utama oleh KG. Penjatuhan Soeharto itu sekaligus digunakan
pula untuk sarana melakukan imperialisme baru atas Indonesia melalui LOI antara
IMF dan RI yang telah terbukti menghancurkan kedaulatan NKRI.
Plus dengan menerapkan demokrasi liberal yang sejatinya tidak
sesuai dengan demokrasi Pancasila, menyebabkan para kapitalis dengan amat mudah
menjadi penguasa-penguasa baru Indonesia. Dan senjatanya hanya satu, yakni money (uang). Inilah cikal-bakal meruyaknya money politics di negeri ini.
Era 1998-2004, Indonesia mengalami gonjang-ganjing tanpa
henti. Gangguan keamanan dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Ekonomi morat-marit
dan pers menjadi sangat liberal tak terkendali. Dan akhirnya, Pers menjadi
penguasa baru yang dominan. Pers, baik media cetak maupun elektronik, membentuk
opini, mengarahkan persepsi rakyat sesuka hati dan sesuai agenda kapitalis
liberal. Selera hedonis menurut masing-masing individu menjadi sangat marak.
Bahkan negeri ini menjadi negeri yang paling liberal di atas panggung dunia.
Dalam suatu kesempatan, kami (TrioMacan) pernah ditegur keras oleh Mayjen Haryadi Darmawan, mantan Ketua ILUNI (Ikatan Alumni UI). “Saya jamin dengan jiwa raga saya tentang patriotisme Prabowo !!! Orang seperti Prabowo tidak akan mungkin melakukan tindakan sekecil apapun yang dapat membahayakan negara!” Itu pesan Haryadi pada kami.
Jadi kesimpulan kami, tokoh seperti Prabowo-lah yang
dibutuhkan bangsa ini. Tokoh yang sepanjang hidupnya hanya memikirkan nasib
bangsa dan negaranya. Untuk itu ia telah mengorbankan pangkat dan jabatannya,
harga dirinya, dan bahkan telah mengorbankan rumah tangganya.
Tokoh seperti Prabowo-lah yang dibutuhkan rakyat Indonesia
saat ini. Tokoh yang akan jadikan Indonesia kembali menjadi “Macan Asia”. Bukan
sekedar kuli dan jongos dari bangsa asing!
***MERDEKA***
[ Like & Share ]