Gempuran terhadap umat Islam datang silih
berganti tak kenal henti. Hantaman demi hantaman terus dilancarkan oleh
berbagai pihak yang tidak senang dengan keberadaan dan kemajuan Islam baik di
dalam maupun luar negeri. Sampai yang paling terkini adalah isu tentang
keberadaan kelompok ISIS di Indonesia. Melihat fenomena hantaman terhadap Islam
ini, semakin menguatkan analisa bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dengan
kehancuran Islam akan terus menggulirkan isu-isu apa saja, asalkan bisa
melemahkan dan memecah persatuan Islam. Kesan bahwa Islam itu sumber teror bagi
masyarakat kembali ingin dimunculkan.
Jadi
teringat beberapa tahun yang lalu ada pernyataan dari seorang petinggi aparat
tentang anjuran untuk melaporkan bila ada pria berjanggut, berjubah dan bersurban
dilingkungan masyarakat. Ciri-ciri teroris yang diangkat dalam pemberitaan
media sekali lagi menampilkan sosok Islam yang justru menjalankan sunnah Nabi
Muhammad Saw, namun gambaran yang ingin ditampilkan bahwa ciri seperti ini
adalah bahaya baru di masyarakat yang harus diwaspadai. Entah apa maksudnya,
seolah aparat ingin masyarakat ikut “menghukum” orang-orang yang menjalankan
sunnah.
Kemudian
disusul dengan aksi pemberantasan terorisme yang akhirnya malah melegalkan
penembakan secara sembrono oleh Densus 88 terhadap masyarakat yang tak terbukti
terlibat kasus terorisme, namun harus meregang nyawa akibat timah panas yang
serampangan dihujani pada siapa saja yang menjadi sasaran. Semua ini terkesan
sebagai bentuk aksi “babat rumput” terhadap aktivitas dakwah Islam, yang hingga
saat ini belum berhenti dan entah sampai kapan akan berhenti. Media yang juga
turut menyebarkan berita, semakin menguatkan citra buruk bagi umat Islam, bahwa
Islam yang berciri-ciri seperti tampilan dalam berita adalah Islam yang tidak
benar, sering menimbulkan keresahan di masyarakat, penebar teror berbahaya dan
beragam stempel negatif lainnya.
Kasus
tuduhan terlibat terorisme adalah salah satu pelajaran penting bagaimana umat
Islam ditekan dengan aparat yang represif. Seseorang dengan mudahnya ditembak
karena tuduhan sebagai anggota jaringan terorisme, yang tentu saja tak bisa
dibantah korban karena sudah terbujur kaku setelah di dor aparat. Berapa banyak
sudah korban kekejaman Densus 88 sebagai “pembasmi teroris” yang seenaknya
ditangkap, disiksa dan ditembak karena mereka telah distempel sebagai teroris.
Lalu media gegap gempita mengangkat berita tersebut dan membumbui dengan
kabar-kabar yang sengaja ditampilkan untuk menanamkan opini buruk tentang
Islam.
Kini
setelah isu terorisme tidak “hangat” lagi, mulai timbul pertanyaan, akankah isu
keterlibatan dalam kelompok ISIS bakal menjadi senjata baru yang dipakai untuk
menginjak umat Islam? Bukankan Pemerintah Indonesia telah jelas menolak
keberadaan ISIS di negeri ini, hingga aparat keamanan tentu saja punya
legalitas untuk memberantas kelompok ini dan siapa saja yang terlibat di
dalamnya? Akankah Densus 88 atau akan ada satuan khusus yang baru dibentuk
untuk memberantas ISIS, walaupun sebenarnya ISIS itu tidak ada di Indonesia? Kalau
pun ada, hanya sebatas ISIS jadi-jadian.
Bila
terbukti benar, silahkan saja aparat kemudian menangkap seseorang dengan
tuduhan terlibat kelompok ISIS. Namun sangat disayangkan bila metode “tuduhan
tak terbukti” kembali dijalankan hanya sebagai topeng dibalik aksi “babat
rumput”. Apalagi bila aksi memberantas kelompok ISIS ini hanya isu rekayasa
yang dijalankan untuk mengambil keuntungan penggelontoran rupiah. Haruskah umat
Islam kembali jadi korban bulan-bulanan dan kearoganan aparat? Umat harus menjalani
pemeriksaan khusus hanya karena berpakaian dengan atribut Islami, diperiksa
karena rajin mengikuti serangkaian kegiatan kajian Islam, oh ironis sekali.
Hak-hak asasi umat Islam bisa dengan mudah diacak-acak karena kepentingan
aparat untuk memberantas isu ISIS.
Lalu kita
akan dikagetkan dengan drama berita penangkapan bahkan penembakan seseorang
yang diduga terlibat dalam kelompok ISIS, target sudah dilabeli sebagai teroris
dan diburu aparat negara, maka status hukumnya (benar atau salah) menjadi tidak
penting. Bila sudah terstempel sebagai teroris, maka hilanglah hak memberi
keterangan tentang dirinya. Bahkan keluarga dan kerabat pun tidak dapat
berkutik menghadapi tuduhan teroris. Katakanlah seorang ustad atau pengajar
agama, bila sudah dicap sebagai anggota ISIS, maka tak perlu banyak tanya lagi,
langsung tangkap bahkan kalau perlu di-dor di tempat. Menyedihkan.
Jangan
sampai hanya karena isu ISIS dan kepentingan memberantasnya lantas
masjid-masjid diawasi secara ketat, lalu umat Islam tak lagi bebas mengenakan
pakaian Islami, ceramah-ceramah kembali dijaga aparat, kegiatan dakwah Islam
mendapat tekanan dan hambatan. Semoga umat Islam semakin cerdas dan berpikiran
terbuka, bahwa segala isu yang sedang terjadi harus benar-benar diwaspadai dan
diambil pelajaran, hingga kasus yang pernah menimpa umat Islam di masa lalu
tidak kembali terjadi. Perpecahan akan menguntungkan pihak yang tidak suka
terhadap Islam. Jangan sampai umat Islam kembali jatuh dalam perangkap skenario
yang sama… waspadalah. Wassalam.
Salim
Syarief MD
(Aktivis Islam)
(Aktivis Islam)
Source:
Suara-Islam/KabarNet