Sontak rakyat Indonesia terkejut atas ulah Presiden Jokowi yang mengaku
telah tanda tangani Perpres terkait kenaikan anggaran DP mobil pejabat,
namun tak membacanya. Lantas, Jokowi pun menyalahkan anak buah, ya
Kementrian Keuangan (Kemenkeu) sukses dijadikan "kambing hitam" atas
keteledoran Jokowi sendiri.
Padahal biasanya dalam sebuah kebijakan peraturan, pasti ada konsideran yang terdiri dari: "Memperhatikan, Menimbang, Mengingat dan Memutuskan" , lalu kenapa Jokowi tidak tahu? Ini memang diluar batas nalar.
Atas ulahnya itu, Jokowi pun semakin mendunia. Sebuah koran berbahasa Inggris memuat judul berita "Joko: I Don't Read What I Sign" yang langsung membuat Indonesia gempar. Banyak netizen merespon dan tidak sedikit menertawakan berita tersebut, sampai-samapi Prof. Yusril Ihza Mahanedra pun berikan komentar.
"Presiden Jokowi Makin Mendunia. Ini berita di Wall Street Journal, salah satu koran terkemuka di dunia," tulisnya sambil melampirkan kliping koran yang merilis berita: "Joko: I Don't Read What I Sign" yang kemudian ia meralat, bahwa sumber kliping bukan dari Wall Street Journal tapi Jakarta Globe.
Kalimat "I Don't Read What I Sign" ini pun sempat menjadi trending topic di laman Twitter sebagai efek dari ramaikan netizen yang memperbincangkannya.
Dibalik kejadian tersebut, sebenarnya Indonesia sudah dipermalukan oleh Jokowi kepada dunia. Betapa lucunya, dunia punya hak untuk terus menertawai Indonesia sampai lelah atau bosan, lalu tertawa lagi jika teringat kalimat "I Don't Read What I Sign". Dimana muka rakyat Indonesia mau diletakkan?
Jika malunya hanya menimpa mereka yang memilih Jokowi di Pilpres 2014 lalu, mungkin tak mengapa. Yang jadi masalah adalah, mereka yang tidak ikut memilih Jokowi pun ikut menanggung malu. "Disitu kadang kita merasa sedih..."
Hukum alam memang selalu bekerja dengan apik. Setelah Jokowi sukses permalukan seluruh rakyat Indonesia. Kini waktunya Jokowi yang dipermalukan oleh Megawati dan PDIP.
Untuk penegasan, bicara Megawati dan PDIP memang susah untuk memisahkan, karena sampai saat ini Megawati-lah masih menjadi orang yang begitu berpengaruh di PDIP. Artinya publik tidak memisahkan antara PDIP dan Megawati, keduanya seperti satu kesatuan yang susah untuk dipisahkan. Buktinya, Megawati Soekarnoputri masih di dapuk jadi ketua umum lagi untuk periode 2015-2020. Singkatnya, PDIP seperti kerajaan.
Nah, kembali kepada topik Jokowi dipermalukan oleh Megawati dan PDIP. Kejadian tersebut berlangusng di acara hajatan kongres PDIP ke IV di Bali, 9 - 12 April 2015. Pada momen yang sakral tersebut, Jokowi diperlakukan oleh Megawati dan PDIP bak bukan seorang Presiden.
Pertama, Jokowi tidak dihargai atau di berikan waktu untuk memberikan Pidato atau kata sambutan pada hajatan 5 tahun sekali tersebut. Jokowi malah terksesan seperti orang yang mendengarkan kuliah umum dari Megawati. Inilah dalam sejarah Indonesia - mungkin dunia - dimana seorang Presiden tidak memberikan pidato di acara Kongres partai.
Perlakuan Megawati dan PDIP tersebut mungkin punya alasan tersendiri. Mungkin Jokowi kader PDIP sehingga tak perlu berikan pidato.
Tapi yang perlu dipahami adalah, Jokowi datang dengan peswat kepresidenan dan anggaran negara yang besar. Ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar pun menyentil Jokowi melalui akun Twitter @Dahnilanzar.
"Mohon maaf saya harus sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga Kepresidenan," kritiknya.
Kemudian Dahnil pun lanjut menulis.
"Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt, ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina lembaga Kepresidenan," tulisnya kesal di laman Twitter.
Tapi masalahnya, Jokowi bisa ngerti apa tidak? Ini masalah klasik:
Atlecico Madrid vs Real Madrid.
Kekecewaan tampak hadir juga dari para pendukungnya Jokowi yang bukan kader PDIP.
(Baca: Jokowi di lecehkan di Kongres PDIP?)
Belum lagi, dalam pidato Megawati di Kongres PDIP, Jokowi berulang kali disindir karena terkesan mau lepas dari partai. Mega tidak ikhlas melepas Jokowi tuk bebas tentukan sikap sebagai Presiden sejati. Coba simak perkataan Mega berikut.
"Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa partai harus mengorganisir rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan partai," kata Mega, dilansir detikcom (10/4).
Pernyataan Mega diatas sejatinya menyudutkan dan membingungkan Jokowi sendiri. Efeknya, Jokowi takkan pernah bisa lepas dari status cuma "Petugas Partai".
Menanggapi pernyataan Mega, seorang pengamat berikan komentar.
"Perlu diluruskan, Jokowi adalah presiden pilihan rakyat Indonesia, bukan presiden partai. Harusnya partai merelakan presiden yang diusungnya jadi milik rakyat Indonesia," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, kepada detikcom, Jumat (10/4/2015).
Hendri menuturkan, meski diusung oleh PDIP dan KIH namun Jokowi duduk di kursi RI karena dipilih rakyat di Pilpres. Kalau rakyat tak memilih Jokowi di Pilpres, belum tentu mantan Wali Kota Solo itu jadi presiden.
"Jokowi jadi presiden karena dipilih rakyat bukan dipilih PDIP saja. Memang PDIP pengusung tapi tanpa suara rakyat mustahil Jokowi jadi presiden," katanya.
Sebagai presiden, sudah seharusnya Jokowi taat kepada konstitusi. Jokowi sendiri juga sudah menegaskan komitmen untuk taat kepada konstitusi dan amanat rakyat.
"Oleh karena itu Jokowi wajib lebih loyal kepada rakyat daripada ke parpol," pungkasnya.
Singkatnya, 2 hal yang membuat Jokowi benar-benar dipermalukan pada acara Kongres PDIP ke IV, yang pertama, Jokowi tidak diberikan waktu berpidato walau ia adalah sosok Presiden ke - 7 Republik Indonesia yang menjadi simbol negara.
Sedang yang kedua, Jokowi ternyata masih diperlakukan tak lebih sebagai "petugas Partai" saja. Walau sejatinya, Jokowi menang di Pilpres bukan cuma jasa politik PDIP, namun ada suara dan mandat massa di luar PDIP yang punya hak politik -juga- kepada Jokowi.
Ops, ada yang lupa, kejadian yang juga bisa membuat geleng-geleng kepala adalah, usai Megawati berpidato di acara pembukaan Kongres ke IV PDIP, Jokowi pun tampak menuangkan air minum di gelas milik Megawati. Benar-benar "wayang" yang sempurna. [JK Sinaga]
Tapi yang perlu dipahami adalah, Jokowi datang dengan peswat kepresidenan dan anggaran negara yang besar. Ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar pun menyentil Jokowi melalui akun Twitter @Dahnilanzar.
"Mohon maaf saya harus sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga Kepresidenan," kritiknya.
Kemudian Dahnil pun lanjut menulis.
"Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt, ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina lembaga Kepresidenan," tulisnya kesal di laman Twitter.
Tapi masalahnya, Jokowi bisa ngerti apa tidak? Ini masalah klasik:
Atlecico Madrid vs Real Madrid.
Kekecewaan tampak hadir juga dari para pendukungnya Jokowi yang bukan kader PDIP.
(Baca: Jokowi di lecehkan di Kongres PDIP?)
Belum lagi, dalam pidato Megawati di Kongres PDIP, Jokowi berulang kali disindir karena terkesan mau lepas dari partai. Mega tidak ikhlas melepas Jokowi tuk bebas tentukan sikap sebagai Presiden sejati. Coba simak perkataan Mega berikut.
"Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa partai harus mengorganisir rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan partai," kata Mega, dilansir detikcom (10/4).
Pernyataan Mega diatas sejatinya menyudutkan dan membingungkan Jokowi sendiri. Efeknya, Jokowi takkan pernah bisa lepas dari status cuma "Petugas Partai".
Menanggapi pernyataan Mega, seorang pengamat berikan komentar.
"Perlu diluruskan, Jokowi adalah presiden pilihan rakyat Indonesia, bukan presiden partai. Harusnya partai merelakan presiden yang diusungnya jadi milik rakyat Indonesia," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, kepada detikcom, Jumat (10/4/2015).
Hendri menuturkan, meski diusung oleh PDIP dan KIH namun Jokowi duduk di kursi RI karena dipilih rakyat di Pilpres. Kalau rakyat tak memilih Jokowi di Pilpres, belum tentu mantan Wali Kota Solo itu jadi presiden.
"Jokowi jadi presiden karena dipilih rakyat bukan dipilih PDIP saja. Memang PDIP pengusung tapi tanpa suara rakyat mustahil Jokowi jadi presiden," katanya.
Sebagai presiden, sudah seharusnya Jokowi taat kepada konstitusi. Jokowi sendiri juga sudah menegaskan komitmen untuk taat kepada konstitusi dan amanat rakyat.
"Oleh karena itu Jokowi wajib lebih loyal kepada rakyat daripada ke parpol," pungkasnya.
Singkatnya, 2 hal yang membuat Jokowi benar-benar dipermalukan pada acara Kongres PDIP ke IV, yang pertama, Jokowi tidak diberikan waktu berpidato walau ia adalah sosok Presiden ke - 7 Republik Indonesia yang menjadi simbol negara.
Sedang yang kedua, Jokowi ternyata masih diperlakukan tak lebih sebagai "petugas Partai" saja. Walau sejatinya, Jokowi menang di Pilpres bukan cuma jasa politik PDIP, namun ada suara dan mandat massa di luar PDIP yang punya hak politik -juga- kepada Jokowi.
Ops, ada yang lupa, kejadian yang juga bisa membuat geleng-geleng kepala adalah, usai Megawati berpidato di acara pembukaan Kongres ke IV PDIP, Jokowi pun tampak menuangkan air minum di gelas milik Megawati. Benar-benar "wayang" yang sempurna. [JK Sinaga]