Saya setuju dengan Pernyataan dari TNI ini, dan harusnya ini menjadi
acuan juga buat Densus 88 Anti Teror. Mengapa? Karena beberapa tahun terakhir
ini, Densus 88 selalu menembak mati para teroris, meski sebenarnya statusnya
masih terduga.
Seperti pernah terjadi, ada satu warga yang di hajar sampai
babak belur oleh Densus 88, untung belum sampai dihilangkan nyawanya ternyata
bukan teroris dan Densus 88 ternyata salah tangkap. Akhirnya Densus 88 malu
sendiri, kan?.
Harusnya, pasukan seperti Densus 88 adalah pasukan siap
tempur dan bisa menyelesaikan masalah tanpa harus kerahkan kemapuan mati-matian
karena Densus 88 menguasai teknik-teknik berperang dan menyergap lawan, kalau
soal menembak lawan siapa saja bisa. Polisi lalu lintas saja dapat
melakukannya. Masa iya, Desus 88 menyergap lawan sampai memakan waktu berjam-jam,
tapi setelah dapat mengalahkan teroris (meski statusnya masih terduga), si
teroris di bunuh. Bukankah Densus 88 adalah orang-orang terlatih?
Membunuh lawan tanpa memberi penjelasan dan bukti bahwa dia
teroris apakah harus dihilangkan nyawanya? Atau Densus 88 sedang bersandiwara?
Lalu dibuat scenario penyergapan teroris dan menghilangkan jejak agar tidak ada
yang tau bahwa itu adalah sandiwara belaka.
Semestinya, tidak dibunuh untuk dimintai keterangan apakah
benar teroris atau bukan? Atau suruhan saja? Lalu siapa yang memimpinnya?
Kalau nyawanya dihilangkan, lalu kita akan tau dari mana
mereka teroris? Atau diketahui dimana markasnya?
Atau memang benar ini hanya sandiwara Densus 88 saja dan
sebenarnya teroris tidak ada di Indonesia? Lalu untuk apa ada penergapan
teroris jika pada akhirnya kita tidak tau mereka dan mungkin mereka yang diduga
teroris itu bukan teroris. Tapi apa dikata, mereka tidak bisa melakukan
pembelaan karena dibunuh.
Saya yakin Densus 88 dengan kemampuan dan taktik perang terlatih
bisa menangkap terduga teroris tanpa harus membunuh karena kita perlu dan butuh
data mereka, bukan menghilangkannya. Saya kasihan, kalau ternyata mereka hanya
korban salah tangkap.
===
TNI: Maling Saja Tidak Boleh Langsung Ditembak, Apalagi Prajurit
Mayjen TNI Mochamad Fuad Basya menyatakan bahwa penembakan
yang dialami 4 anggotanya bukanlah bentrok, melainkan penanganan sepihak oleh
anggota Polri terhadap anggota TNI. Peristiwa itu terjadi di Batam semalam.
"Saya harus sampaikan, itu bukan
bentrokan, tapi penanganan sepihak oleh anggota oknum Polri terhadap anggota
TNI," kata Fuad
saat dikonfirmasi oleh wartawan, Jakarta, Senin (22/9).
Atas kejadian tersebut, Fuad
menegaskan kepada pihak Polri untuk mengusut kasus tersebut. Pasalnya, secara
teori Polri tidak diperbolehkan menembak langsung sebelum ada konfirmasi yang
jelas dari pihak terkait.
"Polri harus usut, kenapa
seperti itu. Karena secara teori kan tidak boleh, apalagi itu adalah anggota
TNI. Maling saja tidak boleh langsung di tembak, harus ditanya dulu, di proses.
Apalagi ini anggota TNI," ungkapnya.
Menyikapi tindakan yang
dilakukan Polri, Fuad menegaskan akan menuntut pihak Polri untuk memberikan
hukuman yang sesuai dengan perbuatan anggotanya.
Sebab, tambah dia, di dalam
aturan TNI pun akan memberikan hukuman yang setimpal jika anggotanya berbuat
kesalahan yang sifatnya merugikan orang lain maupun institusi.
"Bagi TNI, pada prinsipnya
akan diproses apabila ada anggota yang bersalah sesuai aturan dan hukum. Tapi
kalau anggota Polri bersalah, kami juga akan menuntut, supaya dihukum sesuai
perbuatan mereka itu," tegas Fuad.(Merdeka/22/9/14)