JAKARTA - Betapa murkanya para kolaborator, kaki tangan, dan pemimpi kekuasaan yang sudah yakin akan kemenangan. Kemudian mereka seperti terkena hantaman 'rudal' skud dari Irak. Meluluh-lantakan segala impian kekuasaan yang sudah didepan hidung mereka.
Mereka murka semurka-murkanya, akibat kegagalan menggoalkan revisi UU Pilkada, yang diagendakan oleh DPR, Jum'at dini hari lalu. Ini benar-benar mimpi buruk di siang bolong bagi mereka.
Di mana koalisi Merah Putih berhasil memenangkan pertarungan politik di parlemen yang mensahkan pemilihan Pilkada melalui DPRD. PDIP, PKB dan Hanura, gagal mempertahankan keinginannya agar pilkada langsung.
Drama di parlemen Jum'at dini hari lalu, yang paling disalahkan SBY dan Demokrat. SBY dan Demokrat dikutuk, dan dianggap biang-kerok atas kegagalan pilkada langsung. SBY dituduh sebagai pengkhianat demokrasi dan rakyat.
Demokrat yang setuju pemilihan langsung, dan disertai embel-embel 10 syarat, bersifat mutlak, absolut, serta harus musyawarah mufakat, tidak melalui voting.
Aspirasi Fraksi Demokrat itu, menurut pengakuan para tokoh PDIP, Hanura dan PKB, mereka sepakati dan mendukung syarat-syarat yang diajukan oleh Demokrat. Tidak ada yang menolak.
Tetapi, justru menit-menit terakhir, saat menjelang pengambilan keputusan juru bicara Demokrat, Benny K.Harman, menyatakan walkout. Sebelum walkout, Beny menegaskan bahwa Demokrat berada di luar pemerintahan sebagai kekuatan penyeimbang.
Berbagai sumber mengatakan keputusan walkout Fraksi Demokrat itu, berdasarkan instruksi Presiden SBY langsung dari Washington.
Menghadapi kegagalan di parlemen, terkait dengan kasus pemilihan langsung dalam revisi UU Pilkada, sekarang kubu Mega, Jokowi, dan PDIP, membuat strategi menggalang seluruh kekuatan yang ada, agar hasil revisi UU Pilkada yang sudah disahkan DPR itu, tidak bisa diundangkan.
Pertama, mereka menggalang opini yang sangat luas di dalam dan luar negeri, bahwa pilkada melalui DPRD itu, sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat.
Mereka menuduh dan menghujat SBY, Aburizal Bakri, Prabowo, Hatta Rajasa, Amin Rais, dan lainnya sebagai pengkhianat demokrasi dan rakyat.
Kelompok-kelompok yang bernaung dibawah Mega, Jokowi, dan PDIP bukan hanya maenggunakan media massa dan media sosial, tapi mereka juga akan menggunakan gerakan rakyat menekan SBY.
Mereka akan melakukan aksi demonstrasi di seluruh Indonesia, bahkan diluar negeri. Mereka akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar keputusan DPR itu dibatalkan.
Kampanye secara massif melalui media massa dan media sosial itu, sekarang terus berlangsung, tentu yang palng dihantam oleh mereka adalah SBY dan Demokrat.
SBY harus menyerah. SBY harus menolak menandatangani keputusan DPR. SBY harus berani mengajukan judicial review (uji materi) kepada MK atas keputusan DPR yang memutuskan pemilihan lewat DPRD.
Padahal, menurut Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, kajian terhadap pemilihan daerah yang memilih gubernur, bupati dan walikota sudah dilakukan kajian selama tiga tahun, dan dengan segala implikasinya.
Keputusan pemerintah membuat revisi terhadap UU Pilkada itu, merupakan hasil temuan yang sifatnya empirik, tentang dampak negatif pemilihan langsung Pilkada.
Dampak negatif atas pilkada langsung, semua berujung akan terjadinya disintegrasi nasional, dan menuju perpecahan.
Sekarang mereka yang berada di belakang Mega, Jokowi, dan PDIP dengan sangat lantang, melalui kelompok-kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), terus melakukan kampanye yang sangat luar biasa massif, dan melawan keputusan DPR dengan memberikan lebel sebagai pengkhianatan terhadap rakyat dan demokrasi.
Seperti yang dikemukakan oleh para ketua umum partai koalisi Merah Putih, kehidupan demokrasi di Indonesia, sudah sangat liberal. Sejak reformasi telah terjadi liberalisasi di segala bidang kehidupan. Liberaliasi dibidang politik, ekonomi dan budaya. Inilah yang mengancam kehidupan nasional bangsa.
Dengan sarana demokrasi liberal itu, menurut para pemimpin koialisi Merah Putih, berlangsung penguasaaan, penjajahan, dan perbudakan terhadap rakyat dan bangsa. Seperti dikatakan oleh Amin Rais, bahwa bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa 'jongos'. Bukan bangsa yang merdeka, berdaulat dan bermartabat.
Mereka yang sekarang teriak-teriak seolah-olah membela rakyat dan membela demokrasi, sejujurnya mereka adalah para kolaborator, kaki tangan dan alat penjajah atas negeri Indonesia.
Mereka berjuang demi kepentingan 'tuannya' yang ingin melanggengkan penjajahan dan perbudakan atas Indonesia. Mereka tidak ingin melihat rakyat dan bangsa Indonesia, merdeka dan berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya.
Sejatinya sekarang mereka yang menuduh SBY dan koalisi Merah Putih sebagai pengkhianat, hanya mereka sendiri yang menjadi pengkhianat alat dan bagian kepetingan penajajah asing dan a seng (Cina)yang ingin menempatkan Indonesia sebagai jajahan mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Ketua PDIP, Muarar Sirait dengan nada yang sangat geram, saat usai Fraksi Demokrat walk out, 'kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membela rakyat', tegasnya. Betapa masygulnya tokoh PDIP itu.
Benarkah mereka ini para pembela dan pelindung rakyat? Ingatlah saat Mega berkuasa? Mega yang menggantikan rezim Soeharto yang dikutuk itu, justru Mega mengulangi kekelaman dalam mengelola kekuasaan.
Seluruh asset penting bangsa di jual habis oleh Mega kepada asing. Bukan hanya itu. Mega memberikan pengampunan 'release decharge' kepada para pengemplang BLBI yang nilainya Rp 650 triliun.
Mengapa mereka masih berani dengan pongahnya berlindung di balik kata-kata 'rakyat dan demokrasi'? Mereka inilah yang mengkhianati rakyat dan demokrasi. Mereka membiarkan rakyat kelaparan.
Mereka membela kepentingan asing dan a seng (Cina), menggerogoti sumber daya alam Indonesia. Sampai tak bersisa dan rakyat menjadi sangat miskin.
Mereka terus-menerus memojokan dan berkampanye dengan sangat negatif terhadap kekuatan yang ingin memposisikan kehidupan rakyat yang bermartabat, tidak hina dan dijajah, dan dijadikan budak oleh kekuatan asing yang sekarang ini bercokol di atas kepala bangsa Indonesia. Wallahu'alam.
mashadi1211@gmail.com (sumber : voa-islam.com)