Batu - Pernahkan anda mendengar nama Munir
Said Thalib, SH atau lebih familiar di panggil Cak Munir? Beliau adalah salah
seorang pejuang HAM yang menjadi korban konspirasi negara kita. Alm. Munir
lahir di Batu, 08 Desember1965. Cak Munir meninggal di dalam pesawat Garuda
Indonesia pada perjalanannya menuju Amsterdam di tanggal 07 September
2004 dalam rangka akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di
Universitas Utrecht, Belanda. Terakhir Beliau menjabat sebagai Direktur
Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Biografi
mengenai Cak Muir selengkapnya dapat anda lihat di wikipedia.
Atas prakasa Istri Alm. Munir, SH dan
teman temannya (Glen Fredly, Butet Kertaradjasa, Melanie Subono, Untuk
mengenang dan melanjutkan perjuangan Beliau, maka di dirikanlah Omah
Munir sebagai Museum Hak Asasi Manusia. Museum ini tidak berisikan mengenai
perjuangan Alm. Munir saja, melainkan juga berisikan tentang sejarah perjalanan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Omah Munir ini sendiri merupakan rumah pribadi
Alm. Munir, SH yang oleh istrinya Suciwati Munir di dedikasikan sebagai Museum
HAM di Indonesia.
Omah Munir sendiri adalah sebuah inisiatif menjadikan sosok
paling berharga dalam sejarah perjuangan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia, yaitu Munir, sebagai ikon utama pendidikan HAM di Indonesia. Dengan
mengambil bentuk museum, inisiatif ini bertujuan memberikan cara pembelajaran
yang lengkap, melalui tampilan ruang dan audio visual, tentang dimensi-dimensi
figur penting Munir dalam memperjuangkan agenda penegakkan HAM di Indonesia.
Konsep dasar pembangunan omah munir berpijak pada pentingnya menanamkan prinsip
karakter seorang individu yang menjadi sumber inspirasi berkembangnya inisiatif
kemanusiaan yang lebih besar dibanding lingkup kehidupan individu itu sendiri
di kalangan generasi muda Indonesia. Omah Munir menjadi alat pembelajaran bagi
banyak orang tentang pentingnya sebuah karakter dan tekad yang kuat dalam
memperbaiki kehidupan banyak orang di luar kehidupan pribadinya, yang ditunjukkan
melalui keberanian dan kegigihannya.
Sosok Cak Munir ini akan menjadi martil terkeras dalam
penegakkan dan keadilan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia. Namanya semakin
terkenal ketika ia banyak terlibat dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM di
berbagai tempat dan kasus, seperti kasus buruh Marsinah, Talangsari, Aceh,
Timor-Timur, Penculikan Aktivis 98 dan masih banyak kasus lainnya.
Pada 20 maret 1998, Munir dan kolega membentuk badan advokasi
untuk mengusut kasus penculikan para aktivis mahasiswa yang secara kritis kerap
mengoreksi pemerintah rezim Soeharto. Komisi untuk orang hilang dan korban
kekerasan atau biasa disingkat KontraS, demikian nama lembaga tersebut. Lembaga
ini yang kelak menjadi momok bagi para pelaku penculikan dan bagaikan malaikat
yang tidak kenal lelah dalam memperjuangkan keadilan bagi para keluarga korban
penculikan. Selain itu, Munir juga memprakasai pendirian Lembaga Pemantau Hak
Asasi Manusia Indonesia, atau IMPARSIAL pada tahun 2002.
Konsistensi Munir dalam penegakan HAM dan keadilan di
Indonesia bukan tanpa resiko. Berbagai ancaman dan teror pernah ia rasakan,
hingga puncaknya pada tanggal 07 September 2004 ketika sedang melakukan
penerbangan ke Negeri Kincir Angin Belanda guna melanjutkan studi doktoralnya,
ia diracun di udara. Arsenik, demikian nama racun yang dimasukkan ke dalam
tubuh Munir sehingga nyawa sang pejuang tersebut melayang. Hingga kini dalang
dibalik pembunuhan Munir tersebut belum terungkap.
Sepanjang hidupnya (1965 - 2004) Munir menerima berbagai
macam penghargaan dari seantero negeri dan luar negeri. Diantaranya The Right Livelihood Award di
Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel
Alternatif dari yayasan The Right Livelihood Award Jacob Von Uexkull,
Stockholm, Swedia, di bidang pemajuan HAM dan kontrol Sipil terhadap militer di
Indonesia. Sebelumnya, majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi
salah seorang dari 20 pemimpin politik muda asia pada milenium baru dan Man Of
The Year versi majalah Ummat (1998).
Guna mengenang sosok dan perjuangan Munir inilah didirikan Omah Munirpada tanggal 08 Desember 2013, di kota Batu. Bukan untuk mendewakan sosoknya, melainkan
mengenang jasa, perjuangan serta memahami dan mempraktekkan pemikirannya dalam
bidang penegakkan HAM dan keadilan. Omah Munir diharapkan menjadi ladang
persemaian Munir-Munir baru yang kelak akan menjadi pejuang Penegakan HAM dan
keadilan di Indonesia.
Penulis Bersama Suciwati Munir, Ibu Sumarsih, dan Butet Kertaradjasa di Omah Munir |