Setahun
menjelang pilpres 2014, yang bermunculan malah orang-orang tidak tahu
diri yang menyatakan dirinya hendak maju sebagai sampai dengan yang
telah mengdeklarasikan dirinya sebagai capres-/cawapres 2014. Disebut
tidak tahu diri, karena mereka sendiri tidak mengukur dirinya sendiri
pantas atau tidak untuk mencalonkan dirinya sendiri untuk itu.
Ada si Raja
Dangdut Rhoma Irama yang mengira popularitas di dunia musik sama dengan
popularitas di bidang kenegaraan, ada Aburizal “Ical” Bakrie yang
mengira segala sesuatu bisa dibeli dengan kekuatan uang, ada Wiranto
yang sejak 2004 sampai 2014 masih penasaran juga karena gagal terus baik
sebagai capres, maupun cawapres, ada juga Hary Tanoesoedibjo yang
mengira dengan menguasai media saja tingkat elektabilitas sebagai
cawapres bisa diandalkan.
Wiranto dan Hary Tanoesoedibyo
Dua nama yang
disebut terakhir inilah yang baru-baru ini membikin hangat bursa
capres-cawapres 2014, ketika mereka mengdeklarasikan dirinya sebagai
pasangan capres-cawapres 2014 dari Partai Hanura pada Selasa, 2 Juli
2013. Dari cara mereka mengdeklarasikan dirinya saja sudah menimbulkan
perspektif negatif, baik dari partainya sendiri, maupun perspektif
masyarakat.
Dari partai
Hanura sendiri, karena jelas – seperti juga pada parpol-parpol lainnya –
perkara pengdeklarisian capres-cawapres mekanismenya seharusnya melalui
suatu rapat pimpinan nasional, kongres nasional, atau nama lain
sejenisnya. Tidak begitu saja dilakukan berdasarkan keinginan diri
sendiri. Mentang-mentang dia (Wiranto) adalah pendiri dan Ketua Umum
jadi dia merasa bisa memutuskan segala sesuatu sesuai dengan
kehendaknya?
Sedangkan, Hary Tanoe yang baru beberapa bulan saja bergabung setelah keluar dari Partai Nasdem, kok
bisa langsung mengdeklarasikan diri sebagai cawapres, yang tentu saja
pasti karena didukung Wiranto? Semata-mata karena Hary Tanoe punya
sejumlah media besar, dan dana yang angat besar untuk kepentingan
politik Hanura?
Saya juga bingung,
kenapa Hary Tanoe memilih Partai Hanura/Wiranto sebagai kendaraan
politiknya? Baik Hanura, maupun Wiranto tidak mempunyai prospek politik
yang bagus. Masih mendingan kalau dia ke Gerindra/Prabowo.
Jangankan
masyarakat awam, petinggi-petinggi Hanura saja kaget dan bingung sendiri
dengan langkah tiba-tiba dari Wiranto dan Hary Tanoe ini. Ketua DPP
Partai Hanura Fuad Bawazier mengatakan dia kaget dengan pengdeklarisian
itu, karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan apa-apa, tiba-tiba dia
menerima SMS untuk datang menghadiri dan mendukung pengdeklarisian itu.
Fuad memutuskan tidak datang. Dia bilang, pengusungan pasangan
Wiranto-Hary Tanoe itu tidak sah.
“Saya kira tidak sah. Mekanismenya apa yang dipakai? Kenapa tiba-tiba begitu?” ujar Fuad Bawazier, Rabu, 3 Juli 2013 (Kompas.com).
Mantan Ketua Badan
Pemenangan Pemilu Partai Hanura Yuddy Chrisnandi juga mengaku bingung
dengan deklarasi Wiranto-Hary Tanoe itu. Dia mengungkapkan selama ini
Hanura menyatakan menunggu hasil pemilihan legislatif untuk menentukan
pasangan bagi Wiranto yang sudah ditetapkan sebagai capres Hanura sejak
2010.
“Saya enggak
tahu motifnya apa. Saya juga bingung karena selama ini Pak Wiranto
selalu bilang dalam berbagai kesempatan bahwa dia menunggu hasil pileg
(pemilu legislatif),” ujar Yuddy, Rabu, 3 Juli 2013 (Kompas.com).
Selama
ini, katanya, ia selalu berpegang pada fatsun politik itu. Namun,
tiba-tiba keputusan berubah dengan pendeklarasian Wiranto-Hary Tanoe
pada Selasa (2/7/2013) kemarin.
Langkah
Wiranto ini mengindikasikan adanya benih-benih otoriterisme pada
dirinya yang terbawa-bawa dari era kejayaannya di masa Orde Baru. Merasa
sebagai pemilik partai, berhak menentukan segala sesuatunya sendiri,
termasuk hal sepenting pengdeklrasian capres-cawapres itu. Parpol Hanura
seolah-olah mau dibikin sebagai barang pribadinya.
Selain
itu juga menunjukkan Wiranto tidak dapat memegang prinsipnya sendiri,
karena ada faktor pengaruh (kekuatan media dan uang?) Hary Tanoe, begitu
gampang melupakan fatsun politik yang diucapkannya sendiri, bahwa
cawapres Hanura pasangannya baru akan ditentukan setelah melihat hasil
pemilihan legislatif.
Perspektif
masyarakat terhadap elektabilitas Wiranto sesungguhnya sudah
diperlihatkan pada pilpres 2004, ketika Wiranto gagal total maju sebagai
capres, berpasangan dengan Salahuddin Wahid sebagai cawapres. Dan di
pilpres 2009, juga gagal ketika maju sebagai cawapres mendampingi Jusuf
Kalla. Tetapi, sampai 2014, yang bersangkutan rupanya belum kapok juga,
mash berambisi besar, dan masih penasaran untuk mencoba lagi untuk
ketiga kalinya sebagai capres. Mungkin itu juga dari watak militernya,
yang pantang menyerah. Pantang menyerah tentu sikap yang bagus, tetapi
kan juga harus realistis, bukan?
Wiranto
juga menolak kalau ada yang menyamakan duet capres-cawapres dia dengan
Hary Tanoe seperti duet cagub-cawagub DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok.
Karena mereka mempunyai latar belakang yang sama dengan Jokowi-Ahok.
Wiranto adalah Muslim dan berasal dari Solo, seperti Jokowi, dan Hary
Tanoe adalah Kristen dan Tionghoa, seperti Ahok.
Wiranto
keliru kalau menganggap dukungan sebagian besar warga Jakarta dalam
Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu itu karena latar belakang etnis dan agama
Jokowi-Ahok. Sebagian besar warga Jakarta pemilih Jokowi-Ahok tidak
melihat faktor itu, yang mereka lihat adalah integritas, kapabilitas,
dan harapan yang ada pada pasangan Jokowi-Ahok untuk membangun Jakarta
Baru.
Wiranto-Hary
belum bisa menunjukkan integritas, kapabilitas dan harapan untuk
membangun Indonesia yang baru di tahun 2014. Tingkat elektabilitas
mereka pasti rendah. Tetapi, entah apa yang membuat mereka berdua tetap
nekad. Apakah hanya akan mengandalkan grup media milik Hary Tanoe? Itu
juga pasti akan sia-sia.
Aburizal Bakrie / Rhoma Irama
Mengenai
Aburizal Bakrie dan Rhoma Irama yang juga termasuk orang-orang tidak
tahu diri dengan mencalonkan dirinya sebagai presiden atau merasa
dirinya layak sebagai presiden sudah beberapa kali saya ulas di
artikel-artikel saya di Kompasiana.
Dalam
Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golkar, 1 Juli 2012, Aburizal Bakrie
telah secara resmi mengdeklarasikan dirinya sebagai capres 2014 yang
diusung Golkar. Pasangannya masih dicari/diwacanakan.
Sedangkan
si Raja Dangdut, Rhoma Irama, meskipun tidak dianggap serius bahkan
dianggap sebagai lelucon saja, masih tetap percaya diri, bahwa dirinya
layak menjadi presiden. Baru-baru ini, Rhoma bahkan menyatakan dirinya
siap bertarung di konvensi capres PPP.
Menanggapi pernyataan Rhoma Irama ini, Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar malah meminta Rhoma harap tahu diri.
“Rhoma Irama itu satria bergitar. PPP inginkan agar orang mau jadi capres, yah
berkaca dulu. Apakah aku ini pantas jadi capres? Kalau menurut UU
setiap orang berhak, tapi (lihat) dari kepatutan dan kewajaran,” kata
Hasrul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Juli 2013 (baratamedia.com). Namun, bagaimana dengan Ketua Umum PPP sendiri, Suryadharma Alie? Ada ulasannya setelah ini.
Selengkapnya
mengenai ketidaktahudirian Aburizal Bakrie dan Rhoma Irama dalam ikut
meramaikan bursa capres 2014 itu dapat dibaca di artikel-artikel saya di
bawah ini:
Suryadharma Ali
Merespon
pengdeklarasian Wiranto-Hary Tanoesudibjo sebagai capres-cawapres 2014
dari Hanura, Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama Suryadharma Ali
mengatakan dirinya dan PPP tidak akan ikut-ikutan melakukan hal yang
sama. Dirinya dan PPP tahu diri untuk tidak terburu-buru melakukan hal
tersebut, karena itu PPP masih menunggu hasil pemilihan legislatif
(pileg). Kalau hasilnya positif bagi PPP, barulah secara resmi PPP
mengumumkan capres-cawapres-nya.
Namun,
rupanya Suryadharma Ali ini tidak bisa juga menahan diri untuk tetap
konsisten dengan pernyataannya itu, dia kemudian mengekspresikan hasrat
besarnya untuk juga maju di bursa capres-cawapres 2014 ini. Belum
dingin ucapannya itu, dia sudah mengatakan lagi, Rabu, 3 Juli 2013 bahwa
saat ini PPP sedang mempertimbangkan sejumlah tokoh, terutama Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dari PDI-P sebagai capres dari PPP.
Sedangkan pendampingnya adalah dirinya sendiri, Suryadharma Ali. Maka
berubahlah statusnya dari “tahu diri” menjadi “tidak tahu diri” juga.
Suryadharma
Ali mengatakan, bukan tidak mungkin akan terjadi koalisi PDI-P dan PPP
seperti pada Pemilu 2004. Saat itu, koalisi mengusung capres-cawapres
Megawati dengan Hamzah Haz (kompas.com).
Bukan
lagi sebutan “kalau rakyat menghendaki” seperti yang biasa diucapkan
para politisi yang berhasrat menjadi presiden, Suryadharma Ali bahkan
sudah lebih “maju” lagi. Dia mengatakan, jika Tuhan menghendaki, bisa
saja terjadi dirinya menjadi cawapres mendampingi Jokowi sebagai capres
dari PPP.
“PPP
cermati semua tokoh-tokoh itu. Utamanya Jokowi. Kalau Allah menakdirkan,
tidak ada kata lain kecuali iya,” ujar Suryadharma seusai acara
pembekalan caleg PPP di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Rabu
(3/7/2013).
Rupanya
nama Jokowi yang dari hasil berbagai survei selalu menempati urutan
pertama capres yang paling dikehendaki publik berpengaruh besar juga
terhadap tokoh-tokoh politik yang jauh lebih senior darinya, tetapi
sebenarnya mereka diam-diam tidak percaya diri.
Aburizal
Bakrie sesumbar bisa menang di Pilpres 2014 tetapi rupanya mau
mengandalkan popularitas Dahlan Iskan, dan kemudian Jokowi untuk
maksudnya itu. Ini menunjukkan. sebenarnya dia tidak yakin bisa menang
di Pilpres 2014, oleh karena itu dengan taktik seperti fabel “Harimau dengan Rubah,”
dia hendak menggandeng Dahlan Iskan, dan kemudian Jokowi yang justru
elektabilitasnya jauh lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Hal yang sama juga
diekspresikan oleh Suryadharma Ali yang entah dapat ide dari mana,
ikut-ikutan nekad, menjadi tokoh politik tidak tahu diri, mau maju
sebagai cawapres di Pilpres 2014 itu. Tetapi karena tidak percaya diri,
maka lagi-lagi nama Jokowi pun dimanfaatkan.
Padahal
pada 2 Februari 2012 lalu, Anggota Majelis Pakar DPP PPP Mustafa
Muhammad Bong sudah mengingatkan Ketua Umumnya itu agar tahu diri untuk
tidak memaksakan dirinya menjadi capres, maupun cawapres di Pilpres 2014
mendatang.
“Sebagai
pemimpin partai saja dia gagal meningkatkan perolehan suara, apalagi
sebagai capres atau cawapres, apalagi memimpin negara, ” katanya
Mustafa, menanggapi isu yang waktu itu sudah santer beredar bahwa
Suryadharma Ali hendak maju sebagai capres atau cawapres 2014 dari PPP (poskotanews.com)
Parpol-parpol Besar Menghalangi Munculnya Capres-cawapres Alternatif
Sampai sekarang
parpol-parpol besar yang memiliki hak untuk mencalonkan seseorang
sebagai capres dan cawapres kelihatannya tidak mempunyai stok baru yang
akan diajukan untuk dipilih rakyat pada Pilpres 2014. Mereka hanya akan
menyodorkan kepada kita stok-stok lamanya yang terdiri dari tokoh-tokoh
tua yang rupanya masih penasaran dan berambisi besar setelah
(beberapakali) tidak terpilih di pilpres 2004 dan 2009, padahal
sebenarnya mereka itu sudah termasuk “barang kadaluarsa.”
Rencana mereka
menggandengkan tokoh-tokoh idaman rakyat, seperti Dahlan Iskan dan
Jokowi, tidak lebih dari hanya memanfaatkan tokoh-tokoh demikian untuk
mengdongkrak elektabilitasnya. Mereka masih belum sudi menyerahkan
sepenuhnya kesempatan untuk menjadi presiden dan wakil presiden kepada
tokoh-tokoh muda idaman rakyat, atau capres-cawapres alternatif.
Hal ini
tercermin dari sikap parpol-parpol di DPR, khususnya parpol-parpol besar
dan menengah yang tidak mau mengubah ketentuan tentang sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden yang diatur di UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sampai dengan
Rabu, 3 Juli 2013, pembahasan mengenai rancangan perubahan UU Nomor 42
Tahun 2008 tersebut selalu menemui jalan buntu. Lima Fraksi besar di DPR
menyatakan UU itu tidak perlu diubah. Dengan demikian Pilpres 2014 akan
tetap berdasarkan pada UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut (Kompas.com).
Di dalam UU No. 48
Tahun 2008 itu ditentukan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang
memiliki 20 persen kursi di DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara
sah nasional yang boleh mengajukan capres-cawapres-nya. Padahal, justru
parpol-parpol yang berpeluang memenuhi syarat tersebutlah yang saat ini
memiliki atau hendak menyodorkan tokoh-tokoh tua “kadaluarsa” dan atau
tak tahu diri sebagaimana disebutkan di atas.
Seandainya Ketua
Umum PDI-P Megawati Soekarnopuri bergabung di dalam barisan tokoh tua
capres-cawapres tak tahu diri ini, maka lengkaplah sudah potensi Pilpres
2014 akan menjadi pilpres yang paling tidak bermutu dalam sejarah
Republik ini.
Parpol-parpol
besar ini sadar bahwa sebenarnya capres-cawapres mereka itu tidak lagi
diinginkan rakyat, tetapi hal ini tetap saja hendak dipaksakan dengan
cara tetap mempertahankan ketentuan syarat pengajuan capres-cawapres
yang diatur di UU tersebut di atas, supaya hanya mereka saja yang berhak
mengajukan capres-cawapres itu. Seandainya, ketentuan ini diubah,
sehingga memberi peluang majunya capres-cawapres alternatif di luar
tokoh-tokoh tua yang sudah tidak laku itu, nyaris pasti mereka semua
akan kalah telak.
Fenomena ini
sudah kelihatan di Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, ketika 11 parpol besar
dan menengah di luar PDI-P dan Gerindra dengan kekuatan penuh, termasuk
kekuatan uangnya, bersatu-padu mengeroyok cagub-cawagub Jokowi-Ahok,
dengan mendukung cagub-cawagub petahana Fauzi Bowo (Foke) dengan
pasangannya Nachrowi Ramli (Nara). Tetapi hasilnya, rakyat DKI Jakarta
tetap saja memilih gubernur-wakil gubernur yang sesuai dengan hati
nuraninya. Sebelas parpol besar dan menengah itu, termasuk sang calon
petahana dihukum dan sekaligus diberi pelajaran berharga dari rakyat
Jakarta, bahwa kalau suara rakyat benar-benar yang berbicara, maka
sekuat apapun parpol itu, tidak akan bisa apa-apa.
Parpol-parpol besar itu – termasuk PDI-P
dan Gerindra — kini sedang ketakutan, fenomena Pilkada DKI Jakarta 2012
itu bisa terulang di Pilpres 2014 seandainya saja syarat pengajuan
capres-cawapres diubah, sehingga memungkinkan capres-cawapres alternatif
bermunculan menyaingi capres-cawapres mereka.