Breaking News
Loading...
Jumat, Maret 07, 2014

Info Post
Setahun menjelang pilpres 2014, yang bermunculan malah orang-orang tidak tahu diri yang menyatakan dirinya hendak maju sebagai sampai dengan yang telah mengdeklarasikan dirinya sebagai capres-/cawapres 2014. Disebut tidak tahu diri, karena mereka sendiri tidak mengukur dirinya sendiri pantas atau tidak untuk mencalonkan dirinya sendiri untuk itu. 

Ada si Raja Dangdut Rhoma Irama yang mengira popularitas di dunia musik sama dengan popularitas di bidang kenegaraan, ada Aburizal “Ical” Bakrie yang mengira segala sesuatu bisa dibeli dengan kekuatan uang, ada Wiranto yang sejak 2004 sampai 2014 masih penasaran juga karena gagal terus baik sebagai capres, maupun cawapres, ada juga Hary Tanoesoedibjo yang mengira dengan menguasai media saja tingkat elektabilitas sebagai cawapres bisa diandalkan.
 

Wiranto dan Hary Tanoesoedibyo
Dua nama yang disebut terakhir inilah yang baru-baru ini membikin hangat bursa capres-cawapres 2014, ketika mereka mengdeklarasikan dirinya sebagai pasangan capres-cawapres 2014 dari Partai Hanura pada Selasa, 2 Juli 2013. Dari cara mereka mengdeklarasikan dirinya saja sudah menimbulkan perspektif negatif, baik dari partainya sendiri, maupun perspektif masyarakat.

Dari partai Hanura sendiri, karena jelas – seperti juga pada parpol-parpol lainnya – perkara pengdeklarisian capres-cawapres mekanismenya seharusnya melalui suatu rapat pimpinan nasional, kongres nasional, atau nama lain sejenisnya. Tidak begitu saja dilakukan berdasarkan keinginan diri sendiri. Mentang-mentang dia (Wiranto) adalah pendiri dan Ketua Umum jadi dia merasa bisa memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya? 

Sedangkan, Hary Tanoe yang baru beberapa bulan saja bergabung setelah keluar dari Partai Nasdem, kok bisa langsung mengdeklarasikan diri sebagai cawapres, yang tentu saja pasti karena didukung Wiranto?  Semata-mata karena Hary Tanoe punya sejumlah media besar, dan dana yang angat besar untuk kepentingan politik Hanura?

Saya juga bingung, kenapa Hary Tanoe memilih Partai Hanura/Wiranto sebagai kendaraan politiknya? Baik Hanura, maupun Wiranto tidak mempunyai prospek politik yang bagus. Masih mendingan kalau dia ke Gerindra/Prabowo.

Jangankan masyarakat awam, petinggi-petinggi Hanura saja kaget dan bingung sendiri dengan langkah tiba-tiba dari Wiranto dan Hary Tanoe ini. Ketua DPP Partai Hanura Fuad Bawazier mengatakan dia kaget dengan pengdeklarisian itu, karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan apa-apa, tiba-tiba dia menerima SMS untuk datang menghadiri dan mendukung pengdeklarisian itu. Fuad memutuskan tidak datang. Dia bilang, pengusungan pasangan Wiranto-Hary Tanoe itu tidak sah. 

“Saya kira tidak sah. Mekanismenya apa yang dipakai? Kenapa tiba-tiba begitu?” ujar Fuad Bawazier, Rabu, 3 Juli 2013 (Kompas.com).

Mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura Yuddy Chrisnandi juga mengaku bingung dengan deklarasi Wiranto-Hary Tanoe itu. Dia mengungkapkan selama ini Hanura menyatakan menunggu hasil pemilihan legislatif untuk menentukan pasangan bagi Wiranto yang sudah ditetapkan sebagai capres Hanura sejak 2010.

“Saya enggak tahu motifnya apa. Saya juga bingung karena selama ini Pak Wiranto selalu bilang dalam berbagai kesempatan bahwa dia menunggu hasil pileg (pemilu legislatif),” ujar Yuddy, Rabu, 3 Juli 2013 (Kompas.com).

Selama ini, katanya, ia selalu berpegang pada fatsun politik itu. Namun, tiba-tiba keputusan berubah dengan pendeklarasian Wiranto-Hary Tanoe pada Selasa (2/7/2013) kemarin.

Langkah Wiranto ini mengindikasikan adanya benih-benih otoriterisme pada dirinya yang terbawa-bawa dari era kejayaannya di masa Orde Baru. Merasa sebagai pemilik partai, berhak menentukan segala sesuatunya sendiri, termasuk hal sepenting pengdeklrasian capres-cawapres itu. Parpol Hanura seolah-olah mau dibikin sebagai barang pribadinya.

Selain itu juga menunjukkan Wiranto tidak dapat memegang prinsipnya sendiri,  karena ada faktor pengaruh (kekuatan media dan uang?) Hary Tanoe, begitu gampang melupakan fatsun politik yang diucapkannya sendiri, bahwa cawapres Hanura pasangannya baru akan ditentukan setelah melihat hasil pemilihan legislatif. 

Perspektif masyarakat terhadap elektabilitas Wiranto sesungguhnya sudah diperlihatkan pada pilpres 2004, ketika Wiranto gagal total maju sebagai capres, berpasangan dengan Salahuddin Wahid sebagai cawapres. Dan di pilpres 2009, juga gagal ketika maju sebagai cawapres mendampingi Jusuf Kalla. Tetapi, sampai 2014, yang bersangkutan rupanya belum kapok juga, mash berambisi besar, dan masih penasaran untuk mencoba lagi untuk ketiga kalinya sebagai capres. Mungkin itu juga dari watak militernya, yang pantang menyerah. Pantang menyerah tentu sikap yang bagus, tetapi kan juga harus realistis, bukan?

Wiranto juga menolak kalau ada yang menyamakan duet capres-cawapres dia dengan Hary Tanoe seperti duet cagub-cawagub DKI Jakarta 2012,  Jokowi-Ahok. Karena mereka mempunyai latar belakang yang sama dengan Jokowi-Ahok. Wiranto adalah Muslim dan berasal dari Solo, seperti Jokowi, dan Hary Tanoe adalah Kristen dan Tionghoa, seperti Ahok.

Wiranto keliru kalau menganggap dukungan sebagian besar warga Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu itu karena latar belakang etnis dan agama Jokowi-Ahok. Sebagian besar warga Jakarta pemilih Jokowi-Ahok tidak melihat faktor itu, yang mereka lihat adalah integritas, kapabilitas, dan harapan yang ada pada pasangan Jokowi-Ahok untuk membangun Jakarta Baru.

Wiranto-Hary belum bisa menunjukkan integritas, kapabilitas dan harapan untuk membangun Indonesia yang baru di tahun 2014. Tingkat elektabilitas mereka pasti rendah. Tetapi, entah apa yang membuat mereka berdua tetap nekad. Apakah hanya akan mengandalkan grup media milik Hary Tanoe? Itu juga pasti akan sia-sia.

Aburizal Bakrie / Rhoma Irama
Mengenai Aburizal Bakrie dan Rhoma Irama yang juga termasuk orang-orang tidak tahu diri dengan mencalonkan dirinya sebagai presiden atau merasa dirinya layak sebagai presiden sudah beberapa kali saya ulas di artikel-artikel saya di Kompasiana

Dalam Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golkar, 1 Juli 2012, Aburizal Bakrie telah secara resmi mengdeklarasikan dirinya sebagai capres 2014 yang diusung Golkar. Pasangannya masih dicari/diwacanakan.

Sedangkan si Raja Dangdut, Rhoma Irama, meskipun tidak dianggap serius bahkan dianggap sebagai lelucon saja,  masih tetap percaya diri, bahwa dirinya layak menjadi presiden. Baru-baru ini, Rhoma bahkan menyatakan dirinya siap bertarung di konvensi capres PPP.

Menanggapi pernyataan Rhoma Irama ini, Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar malah meminta Rhoma harap tahu diri. 

“Rhoma Irama itu satria bergitar. PPP inginkan agar orang mau jadi capres, yah berkaca dulu. Apakah aku ini pantas jadi capres? Kalau menurut UU setiap orang berhak, tapi (lihat) dari kepatutan dan kewajaran,” kata Hasrul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Juli 2013 (baratamedia.com). Namun, bagaimana dengan Ketua Umum PPP sendiri, Suryadharma Alie? Ada ulasannya setelah ini.

Selengkapnya mengenai ketidaktahudirian Aburizal Bakrie dan Rhoma Irama dalam ikut meramaikan bursa capres 2014 itu dapat dibaca di artikel-artikel saya di bawah ini:




Suryadharma Ali
Merespon pengdeklarasian Wiranto-Hary Tanoesudibjo sebagai capres-cawapres 2014 dari Hanura, Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan dirinya dan PPP tidak akan ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Dirinya dan PPP tahu diri untuk tidak terburu-buru melakukan hal tersebut, karena itu PPP masih menunggu hasil pemilihan legislatif (pileg). Kalau hasilnya positif bagi PPP, barulah secara resmi PPP mengumumkan capres-cawapres-nya. 

Namun, rupanya Suryadharma Ali ini tidak bisa juga menahan diri untuk tetap konsisten dengan pernyataannya itu, dia kemudian  mengekspresikan hasrat besarnya untuk juga maju di bursa capres-cawapres 2014 ini. Belum dingin ucapannya itu, dia sudah mengatakan lagi, Rabu, 3 Juli 2013 bahwa saat ini PPP sedang mempertimbangkan sejumlah tokoh, terutama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dari PDI-P sebagai capres dari PPP. Sedangkan pendampingnya adalah dirinya sendiri, Suryadharma Ali. Maka berubahlah statusnya dari “tahu diri” menjadi “tidak tahu diri” juga.

Suryadharma Ali mengatakan, bukan tidak mungkin akan terjadi koalisi PDI-P dan PPP seperti pada Pemilu 2004. Saat itu, koalisi mengusung capres-cawapres Megawati dengan Hamzah Haz (kompas.com).

Bukan lagi sebutan “kalau rakyat menghendaki” seperti yang biasa diucapkan para politisi yang berhasrat menjadi presiden, Suryadharma Ali bahkan sudah lebih “maju” lagi. Dia mengatakan, jika Tuhan menghendaki, bisa saja terjadi dirinya menjadi cawapres mendampingi Jokowi sebagai capres dari PPP.

“PPP cermati semua tokoh-tokoh itu. Utamanya Jokowi. Kalau Allah menakdirkan, tidak ada kata lain kecuali iya,” ujar Suryadharma seusai acara pembekalan caleg PPP di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2013). 

Rupanya nama Jokowi yang dari hasil berbagai survei selalu menempati urutan pertama capres yang paling dikehendaki publik berpengaruh besar juga terhadap tokoh-tokoh politik yang jauh lebih senior darinya, tetapi sebenarnya mereka diam-diam tidak percaya diri. 

Aburizal Bakrie sesumbar bisa menang di Pilpres 2014 tetapi rupanya mau mengandalkan popularitas Dahlan Iskan, dan kemudian Jokowi untuk maksudnya itu. Ini menunjukkan. sebenarnya dia tidak yakin bisa menang di Pilpres 2014, oleh karena itu dengan taktik seperti fabel “Harimau dengan Rubah,” dia hendak menggandeng Dahlan Iskan, dan kemudian Jokowi yang justru elektabilitasnya jauh lebih tinggi daripada dirinya sendiri.

Hal yang sama juga diekspresikan oleh Suryadharma Ali yang entah dapat ide dari mana, ikut-ikutan nekad, menjadi tokoh politik tidak tahu diri, mau maju sebagai cawapres di Pilpres 2014 itu. Tetapi karena tidak percaya diri, maka lagi-lagi nama Jokowi pun dimanfaatkan.

Padahal pada 2 Februari 2012 lalu, Anggota Majelis Pakar DPP PPP Mustafa Muhammad Bong sudah mengingatkan Ketua Umumnya itu agar tahu diri untuk tidak memaksakan dirinya menjadi capres, maupun cawapres di Pilpres 2014 mendatang.

“Sebagai pemimpin partai saja dia gagal meningkatkan perolehan suara, apalagi sebagai capres atau cawapres, apalagi memimpin negara, ” katanya Mustafa, menanggapi isu yang waktu itu sudah santer beredar bahwa Suryadharma Ali hendak maju sebagai capres atau cawapres 2014 dari PPP (poskotanews.com)

Parpol-parpol Besar Menghalangi Munculnya Capres-cawapres Alternatif

Sampai sekarang parpol-parpol besar yang memiliki hak untuk mencalonkan seseorang sebagai capres dan cawapres kelihatannya tidak mempunyai stok baru yang akan diajukan untuk dipilih rakyat pada Pilpres 2014. Mereka hanya akan menyodorkan kepada kita stok-stok lamanya yang terdiri dari tokoh-tokoh tua yang rupanya masih penasaran dan berambisi besar setelah (beberapakali) tidak terpilih di pilpres 2004 dan 2009, padahal sebenarnya mereka itu sudah termasuk “barang kadaluarsa.”

Rencana mereka menggandengkan tokoh-tokoh idaman rakyat, seperti Dahlan Iskan dan Jokowi, tidak lebih dari hanya memanfaatkan tokoh-tokoh demikian untuk mengdongkrak elektabilitasnya. Mereka masih belum sudi menyerahkan sepenuhnya kesempatan untuk menjadi presiden dan wakil presiden kepada tokoh-tokoh muda idaman rakyat, atau capres-cawapres alternatif.

Hal ini tercermin dari sikap parpol-parpol di DPR, khususnya parpol-parpol besar dan menengah yang tidak mau mengubah ketentuan tentang sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang diatur di UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sampai dengan Rabu, 3 Juli 2013, pembahasan mengenai rancangan perubahan UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut selalu menemui jalan buntu. Lima Fraksi besar di DPR menyatakan UU itu tidak perlu diubah. Dengan demikian Pilpres 2014 akan tetap berdasarkan pada UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut (Kompas.com). 

Di dalam UU No. 48 Tahun 2008 itu ditentukan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara sah nasional yang boleh mengajukan capres-cawapres-nya. Padahal, justru parpol-parpol yang berpeluang memenuhi syarat tersebutlah yang saat ini memiliki atau hendak menyodorkan tokoh-tokoh tua “kadaluarsa” dan atau tak tahu diri sebagaimana disebutkan di atas.

Seandainya Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnopuri bergabung di dalam barisan tokoh tua capres-cawapres tak tahu diri ini, maka lengkaplah sudah potensi Pilpres 2014 akan menjadi pilpres yang paling tidak bermutu dalam sejarah Republik ini. 

Parpol-parpol besar ini sadar bahwa sebenarnya capres-cawapres mereka itu tidak lagi diinginkan rakyat, tetapi hal ini tetap saja hendak dipaksakan dengan cara tetap mempertahankan ketentuan syarat pengajuan capres-cawapres yang diatur di UU tersebut di atas, supaya hanya mereka saja yang berhak mengajukan capres-cawapres itu. Seandainya, ketentuan ini diubah, sehingga memberi peluang majunya capres-cawapres alternatif di luar tokoh-tokoh tua yang sudah tidak laku itu, nyaris pasti mereka semua akan kalah telak. 

Fenomena ini sudah kelihatan di Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, ketika 11 parpol besar dan menengah di luar PDI-P dan Gerindra dengan kekuatan penuh, termasuk kekuatan uangnya, bersatu-padu mengeroyok cagub-cawagub Jokowi-Ahok, dengan mendukung cagub-cawagub petahana Fauzi Bowo (Foke) dengan pasangannya Nachrowi Ramli (Nara). Tetapi hasilnya, rakyat DKI Jakarta tetap saja memilih gubernur-wakil gubernur yang sesuai dengan hati nuraninya. Sebelas parpol besar dan menengah itu, termasuk sang calon petahana dihukum dan sekaligus diberi pelajaran berharga dari rakyat Jakarta, bahwa kalau suara rakyat benar-benar yang berbicara, maka sekuat apapun parpol itu, tidak akan bisa apa-apa.

Parpol-parpol besar itu – termasuk PDI-P dan Gerindra — kini sedang ketakutan, fenomena Pilkada DKI Jakarta 2012 itu bisa terulang di Pilpres 2014 seandainya saja syarat pengajuan capres-cawapres diubah, sehingga memungkinkan capres-cawapres alternatif bermunculan menyaingi capres-cawapres mereka.


_____

LIKE and SHARE

.......... BACA SELANJUTNYA