Oleh Erros Djarot (MANTAN KADER PDIP)
… Seorang perwira sekelas Prabowo, yang telah dengan berani mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab atas nama kedudukannya sebagai komandan, oleh DKP ternyata diasumsikan bersalah hanya karena salah menerjemahkan (menganalisa) komando. Sehingga layak bila kita pun bertanya, siapa gerangan sang pemberi komando yang masih bersembunyi dalam lorong itu?
Seorang perwira, belum tentu berjiwa kesatria. Karena untuk mewarisi jiwa kesatria, memang tidak mudah. Minimal, seorang kesatria harus berani mengaku bersalah pada saat melakukan kesalahan. Selainnya, selalu berani menyatakan kebenaran, walau karena keberaniannya dirinya harus menanggung akibat yang paling buruk sekalipun. Maka, hanya perwira berjiwa kesatrialah yang bisa disebut sebagai perwira sejati.
Dalam dunia keperwiraan, tidak sedikit juga perwira yang berjiwa “tikus”. Hobinya hanya menggerogoti apa saja dan pandai melakukan gerakan “colong playu” (lari dari tanggung jawab). Biasanya perwira “tikus” ini memiliki banyak lorong persembunyian. Termasuk menyembunyikan kebenaran maupun seluruh niat dan perbuatan jahatnya ke dalam lorong gelap peradaban. Tapi pada saat bahaya datang mengancam dirinya, bila perlu ia akan meninggalkan lorongnya—sekalipun sejumlah anak-anaknya masih tertingal di dalam. Begitulah watak dasar makhluk yang bernama tikus.
Perbuatan sanggup mengorbankan anak (buah), yang menjadi ciri dari tabiat tikus, ternyata dianut pula oleh para perwira “tikus”. Ini berbeda benar dengan perbuatan seorang perwira sejati yang rela berkorban demi kehormatan dan keutuhan anak buahnya. Seorang perwira sejati menganut falsafah hidup seorang kapten kapal; ia rela mati bersama tenggelamnya kapal. Dan, sebelum itu terjadi, terlebih dahulu ia perintahkan seluruh awak kapal untuk menyelamatkan diri, kecuali dirinya.
Pada hakikatnya, dan ini perlu kita sepakati, seseorang melakukan kesalahan adalah manusiawi. Tapi melimpahkan kesalahan hanya pada seseorang, apalagi seorang anak buah, jelas merupakan tindakan tak manusiawi, yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang pengecut.
Ekspresi kebesaran jiwa kesatria yang membanggakan dan mengharukan ini sebenarnya dapat kita pelajari dan resapi makna sakralnya dengan menyediakan sedikit waktu menonton sepenggal adegan dari film Titanic garapan sutradara James Cameron. Walau hanya adegan dalam sebuah film, paling tidak rasa hormat terhadap tanggung jawab mempertahankan harga diri dan kehormatan korps dapat kita hayati dengan segala perasaan dan kesadaran. Oleh karenanya, mungkin perlu dipertimbangkan untuk menjadikan film Titanic sebagai tontonan wajib para perwira.
Seluruh ilustrasi di atas bisa jadi merupakan bahan yang menarik sebagai pintu masuk untuk mendalami permasalahan yang tengah dihadapi oleh Dewan Kehomatan Perwira (DKP). Karena lewat ruang ‘persidangan’ merekalah kita akan segera tahu mana perwira sejati dan mana perwira jenis “tikus”. Pada hakikatnya, dan ini perlu kita sepakati, seseorang melakukan kesalahan adalah manusiawi. Tapi melimpahkan kesalahan hanya pada seseorang, apalagi seorang anak buah, jelas merupakan tindakan tak manusiawi, yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang pengecut.
Tapi sepandai-pandainya tikus, manusia yang cerdik pasti bisa menangkapnya. Salah satu caranya adalah dengan membuat jebakan yang diberi umpan agar sang tikus terpancing keluar dari lorong persembunyian. Cara ini, selain memerlukan kesabaran, memerlukan juga kecermatan membaca waktu dan isyarat. Inilah cara yang paling murah, sedikit risiko, dan cukup efektif bila dilakukan secara tepat. Sedangkan cara lain, misalnya dengan membakar seluruh lahan atau menebar gas beracun agar tikus-tikus keluar dari sarang persembunyiannya, merupakan cara yang mahal dan mengandung risiko tinggi. Salah-salah kobaran apinya justru akan melahap segalanya, atau gas beracun yang ditebarkan dapat mematikan semua yang ada.
Dalam kaitan kerja Dewan Kehormatan Perwira (DKP), menentukan sikap dan cara menjaring para perwira “tikus” inilah yang banyak dinantikan publik. Seorang perwira sekelas Prabowo, yang telah dengan berani mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab atas nama kedudukannya sebagai komandan, oleh DKP ternyata diasumsikan bersalah hanya karena salah menerjemahkan (menganalisa) komando. Sehingga layak bila kita pun bertanya, siapa gerangan sang pemberi komando yang masih bersembunyi dalam lorong itu? Menanti jawaban inilah yang membuat seluruh capaian kerja DKP merjadi antiklimaks bila banya berhenti sampai sebatas menyeret Prabowo ke Mahkamah Militer sekalipun.
Bila pernyataan resmi ketua DKP, Jenderal Subagyo, mengarahkan kita untuk meyakini bahwa komando yang diterima Prabowo bukan berasal dari Panglima Tertinggi (Pangti) maupun Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab), maka satu jabatan yang tersisa dalam struktur organisasi TNI AD adalah lembaga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Hanya, masalahnya, pada saat penculikan para aktivis terjadi, siapa sang jenderal berbintang empat yang duduk dalam jabatan sebagai KSAD?
Yang membuat tanda tanya di atas menjadi lebih bermuatan misteri tingkat tinggi, pada saat peristiwa penculikan terjadi jabatan KSAD diduduki oleh dua jenderal berbintang empat dalam dua periode waktu yang saling berbeda. Dari rumor yang berkembang maupun dari berbagai sumber yang sempat dimintai keterangan dan tanggapan, tembakan anak panah ternyata cenderung ditujukan hanya pada seorang jenderal berbintang empat.
Mengapa hanya seorang yang cenderung dituju? Jawabannya masih belum juga dapat secara pasti kita dapatkan. Kecuali bila DKP mengumumkan secara resmi siapa sang jenderal yang diasumsikan publik sebagai sang pemberi kornando. Selama hal ini tak pernah terjadi, ada baiknya bila semua pihak tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah.
Untuk sementara, bagi para perwira yang secara kesatria berani rnengakui perbuatan salah yang pernah dilakukannya, patut kita berikan penghargaan yang layak. Sekalipun sangat sulit menghargai perbuatan yang pernah dilakukannya. Apa pun penilaian dan vonis yang akan dijatuhkan baik oleh pihak DKP maupun oleh publik secara lepas dan bebas, ada baiknya bila segala sesuatu yang bersifat pribadi dijauhi, sejauh persoalan hukum, etik dan poilik masih berada dalam ruang tanpa dinding pemisah yang pasti.
Tanpa keinginan menegakkan sikap ini, bukan tidak mungkin kita semua malah menjadi “tikus” itu sendiri.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid DETAK. Dicuplik dari buku Erros Djarot, dkk., Prabowo Sang Kontroversi (Jakarta: Media Kita, 2006)