Berbagai
pihak, bahkan termasuk media massa Islam, baru-baru ini "tertipu"
dengan `pengakuan' Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam pengakuan terbarunya
yang dibacakan di Kantor Balibang Depag bulan Januari lalu, Ahmadiyah
mengeluarkan 12 poin pandangan.
Di antara 12
poin tersebut: dalam poin ke-3, ia mengatakan, "Mirza Ghulam hanya disebut
seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban
mubasyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat
dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW." Pernyataan ini
banyak dianggap seolah-olahAhmadiyah telah insyaf.
Banyak
orang, tokoh, bahkan media massa"tertipu" bahasa cantik seperti ini.
Harap tahu saja, berbagai aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat
untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan
paham-pahamnya.
Berbagai
kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus
seputar Ahmadiyah.
Di bawah ini,
saya cuplikan beberapa kiat mereka, sekaligus jawaban ringkas saya. Saya ingin
meluruskan beberapa dari 12 poin penjelasan Ahmadiyah, seperti yang sudah
dikeluarkan di berbagai media massa di Indonesia bulan Januari lalu, yaitu:
Pertama,
"Syahadat kami adalah syahadat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang
berbunyi: "Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah."
Jawaban
saya::
Kita perlu
berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat
Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan
syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
juga Muhammad dan Rasul Allah.
Simaklah
buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad,
yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah cab.
Bandung, tahun 1993).
Dalam buku
ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan
"Muhammad" dalam ayat tersebut, yakni: "Dalam wahyu ini Allah
SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hlm 5).
Jadi, inilah
perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim.
Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad SAW
yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan
dalam buku ini:
"Dan 20
tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala
sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud
beliau juga." (hlm 16-17).
"…..
Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan
itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad." (hlm 25)
Dalam
majalah bulanan resmi Ahmadiyah "Sinar Islam" edisi 1 Nopember 1985
(Nubuwwah 1364 HS), rubrik "Tadzkirah", disebutkan:
"Dalam
wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan
dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua
Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku
Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya'qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku
adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad
dan Ahmad sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72)." (hlm 11-12)
Sekali lagi,
yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga
mengaku sebagai Muhammad SAW, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam
buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS., Yayasan Wisma Damai, Bogor,
cetakan keenam,1993, disebutkan: "….. di dalam syariat Muhammad SAW akulah
Masih Mau'ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku ….."
(hlm 14)
Kedua,
Ahmadiyah juga mengatakan;
"Kitab
Suci kami hanyalah Al Qur'anul Karim." Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa
Tadzkirah bukanlah kitab suci mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama
Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad
meninggal dunia tahun 1908).
Jawaban
saya:
Penjelasan
Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang
asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: ”Tadzkirah ya’ni wahyu
Muqoddas”, artinya ”Tadzkirah adalah wahyu suci.” Jadi, kaum Ahmadiyah jelas
menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah "wahyu yang disucikan".
Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab
Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain selain al-Qur`an, yaitu
kitab Tadzkirah.
Tentu saja,
umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas bahwa setelah Nabi Muhammad SAW,
ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dalam buku
Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan:
"Hadhrat
Masih Mau'ud AS tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah
Ta'ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan
Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta
mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk
beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai
kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun
berusaha memperoleh ni'mat serupa itu." (hlm 63-64).
Ketiga,
Ahmadiyah mengatakan, "Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak
akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun
perbuatan."
Jawaban
saya:
Pengakuan
kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada
buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah
Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat
Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, disebutkan:
"Saya
bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan
Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam
bentuknya yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan
agama damai ini." (hlm 6)
"Bilakhir,
perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi
agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini." (hlm 10)
Kaum
Ahmadiyah juga menyebut jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang
menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam.
Dalam
Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah "Sinar Islam" edisi 1 Juli 1986 (Wafa
1365 HS), pada salah satu tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh
Untuk Menyelamatkan Yang Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad,
Khalifatul Masih IV, dinyatakan:
"Aku
ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat
di bawah mata Allah dan dengan pengarahan-Nya. Kalian adalah bahtera itu, yakni
Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau'ud AS diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu yang
diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera itu
adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang siapa
bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan
kebinasaan." .………….
"Ini
adalah suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota
Jemaat. Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh,
baik bagi para anggota keluarga Masih Mau'ud AS maupun bagi orang-orang yang,
meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan
jalan mengikuti ajaran beliau" (hlm 12, 13, 16, 30)
Kesimpulan
Hendaknya,
kita jangan mudah tertipu dengan penjelasan-penjelas an yang tampak indah,
padahal, dunia Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran
Ahmadiyah. Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa
al-Mau'ud, dan Imam Mahdi.
Pernyataan
mereka bahwa Mirza Ghulam hanya sebagai guru, cuma kata-kata "karet".
Hingga saat ini, tak ada kalimat darinya yang mengatakan, gurunya itu bukan
Nabi.
Jadi, antara
Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab
itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama
menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan bukan Islam.
Kita
berharap para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima
penjelasan Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Wallahu a'lam.
SUARA HIDAYATULLAH PEBRUARI 2008
Penulis
adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam/hidayatullah