Kabinet Kerja Jokowi - Jk |
Senayan - Rampung sudah kabinet Pemerintahan Jokowi-JK. Semua pos kementrian sudah diisi oleh orang-orang yang katanya profesional dan bersih. Kita mungkin tidak terkejut dengan masuknya beberapa nama dari kalangan partai politik. Karena kita juga memahami sulit kalau kemudian Jokowi-JK terlepas dari partai politik yang mendukungnya. Walau ketika kampanye presiden, rakyat dimanjakan dengan janji manis Jokowi yang mengatakan tidak ada politik transaksional antara capres dan partai pendukung. Tentu saja, hal ini memunculkan ekspektasi yang cukup tinggi kepada Jokowi. Namun apa lacur, janji hanya tinggal janji. Tercatat ada 14 nama menteri yang berasal dari partai politik.
Tak berhenti sampai di situ, Jokowi terus memainkan festival politik dalam menyusun kabinet kerja. Ekspektasi publik sempat melambung tinggi ketika Jokowi meminta pertimbangan KPK dalam menilai calon menteri. Harapan rakyat Indonesia akan terwujudnya kabinet yang bersih pun seolah sudah di ambang mata. Angan-angan melihat Indonesia yang lebih baikpun seolah akan menjadi nyata. Namun kembali Jokowi membangunkan rakyat dari mimpi indahnya. Harapan akan kabinet bersihpun pupus seketika ketika Jokowi tetap memasukkan nama-nama yang mendapat tanda kuning, hijau atau merah dari KPK untuk menjadi menteri.
Inkonsistensi Jokowi
Menilik dari hal di atas, Jokowi sudah menampakkan inkonsistensinya. Dari mulai politik transasksional sampai dengan kabinet bersihpun hanya sekadar jargon kampanye saja. Ini belum termasuk rencana kenaikan BBM. Padahal ketika pemerintahan SBY mengajukan proposal pencabutan subsudi BBM, PDI Perjuangan yang notabene adalah partainya Jokowi tegas menolak proposal tersebut.
Rekrutmen menteri yang tidak transparan
Di samping hal-hal di atas, Jokowi juga terkesan tidak transparan dalam menentukan calon menteri. Memang, penunjukkan menteri adalah hak prerogatif dari presiden. Tapi ini bukan berarti rakyat tidak boleh mengetahui proses seleksi para calon menteri.
Tidak ada salahnya Jokowi memaparkan dan mempublikasikan curriculum vitae calon menteri. Hal ini bertujuan agar seluruh elemen bangsa ini mengetahui rekam jejak calon menteri. 14 menteri berasal dari partai politik. Namun kita tidak tahu asal usul dan rekam jejak menteri yang lain. Sehingga opini publik terkait para menteri pun muncul menghiasi pengumuman kabinet kerja Jokowi. Rini Soemarno dijadikan menteri karena balas budi atas kerja kerasnya sebagai ketua tim transisi. Pun Ryamizard Ryacudu yang namanya belum bersih dari kasus pelanggaran HAM juga bisa masuk dalam kabinet Jokowi.
Tidak ada salahnya Jokowi memaparkan dan mempublikasikan curriculum vitae calon menteri. Hal ini bertujuan agar seluruh elemen bangsa ini mengetahui rekam jejak calon menteri. 14 menteri berasal dari partai politik. Namun kita tidak tahu asal usul dan rekam jejak menteri yang lain. Sehingga opini publik terkait para menteri pun muncul menghiasi pengumuman kabinet kerja Jokowi. Rini Soemarno dijadikan menteri karena balas budi atas kerja kerasnya sebagai ketua tim transisi. Pun Ryamizard Ryacudu yang namanya belum bersih dari kasus pelanggaran HAM juga bisa masuk dalam kabinet Jokowi.
Menteri yang tidak tamat sekolah
Salah satu dari sekian banyak menteri yang menjadi bahan perbincangan adalah Susi Pudjiastuti. Pengusaha sukes yang hanya memiliki ijazah SMP. Mungkin banyak yang kaget akan hal ini. banyak mungkin yang melakukan pembelaan mati-matian pada Jokowi dengan mengatakan “pendidikan bukan hal yang paling utama” atau “banyak orang sukses juga gak tamat sekolah”.
Kedua alasan tersebut memang ada benarnya. Tapi tidak mutlak benar. Pendidikan memang bukan hal yang paling utama tapi kita harus mengutamakan pendidikan. Karena dari situlah kita ditempa. Dan karena pentingnya pendidikanlah seorang kaisar Hirohito bertanya ketika tentara sekutu meledakkan Hiroshima dan Nagasaki “berapa guru yang tersisa?”.
Atas dasar pentingnya pendidikan kemudian UU mengamanahkan 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan. Memang banyak orang sukses yang gak tamat sekolah. Tapi itu urusan pribadi. Mengelola bisnis dan usaha pribadi. Bukan mengelola suatu kementrian. Orang-orang seperti ini ilmu bisnisnya memang mempuni. Tapi belum bisa dipastikan sukses mengelola kementrian atau paham ilmu ketatanegraan. Atau boleh jadi yang bersangkutan akan menjadikan instansi yang dipimpinnya sebagai ladang bisnis.
Kedua alasan tersebut memang ada benarnya. Tapi tidak mutlak benar. Pendidikan memang bukan hal yang paling utama tapi kita harus mengutamakan pendidikan. Karena dari situlah kita ditempa. Dan karena pentingnya pendidikanlah seorang kaisar Hirohito bertanya ketika tentara sekutu meledakkan Hiroshima dan Nagasaki “berapa guru yang tersisa?”.
Atas dasar pentingnya pendidikan kemudian UU mengamanahkan 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan. Memang banyak orang sukses yang gak tamat sekolah. Tapi itu urusan pribadi. Mengelola bisnis dan usaha pribadi. Bukan mengelola suatu kementrian. Orang-orang seperti ini ilmu bisnisnya memang mempuni. Tapi belum bisa dipastikan sukses mengelola kementrian atau paham ilmu ketatanegraan. Atau boleh jadi yang bersangkutan akan menjadikan instansi yang dipimpinnya sebagai ladang bisnis.
Pendidikan tidak hanya sekadar melahirkan pribadi yang sukses, pengusaha kaya raya atau apapun namanya. Pendidikan melahirkan orang-orang yang bermoral, berkarakter dan punya attitude. Tidak seperti Susi yang merokok dan bertato. ini akan menjadi citra buruk bagi seluruh anak bangsa. Bagaimana tidak, para siswa mungkin dengan gampangnya mengatakan “orang yang sekolah sampai SMP dan merokok saja bisa jadi menteri”.
Pertanyaan untuk kita semua. Apa alasan Jokowi menjadikan Susi sebagai menteri? Apakah tidak ada lagi orang pintar di republik ini sehingga Jokowi memilih menteri yang bertato dan merokok? Boleh jadi Susi juga merupakan menteri titipan yang mau tidak mau harus menjadi menteri.
Baca juga: