Di tengah makin sengitnya persaingan saat kampanye Pilpres 2014 lalu, makin banyak pula isu kampanye hitam yang disebarkan. Salah satu isu kampanye hitam yang menimpa pasangan Prabowo-Hatta belakangan ada isu dukungan kelompok Islam garis keras yang anti toleransi.
Seperti yang memperkirakan akan adanya kecurigaan dan ketakutan terhadap koalisi penyokong pasangan Prabowo dan Hatta saat itu, menjadi kenyataan. Satu persatu pihak yang merasa takut akan bangkitnya kekuatan Islam jika Prabowo berkuasa angkat bicara. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang selama ini dikenal sebagai publik figur dari kalangan di luar Islam mulai dari budayawan, seniman, intelektual, terlihat kompak menolak Prabowo. Beberapa dengan alasan yang sama: takut terhadap Islam garis keras.
Waktu itu, Seorang yang menempatkan diri sebagai budayawan sekaligus seorang pastur, Frans Magnis Suseno saja merasa perlu untuk mengungkapkan kekhawatirannya jika Prabowo berkuasa. Melalui surat ia membagi kekhawatiran itu kepada khalayak. Ia mengatakan alasan mengapa tidak mungkin memberi dukungan kepada Prabowo walaupun dia tidak meragukan sosoknya yang pluralis dan itikad baiknya membangun Indonesia.
Alasan Frans menolak Prabowo semata-mata kekhawatiran adanya Islam garis keras di sekitar Prabowo. Seperti yang dikutipkan dalam suratnya: “Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok, Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden?” katanya.
Suara-suara bernada fobia (anti) Islam dari kubu pendukung Jokowi sebenarnya bukan muncul saat kampanye pilpres saja. Tokoh-tokoh yang menempati daftar tim sukses (timses) Jokowi-JK sulit dikatakan sebagai kalangan yang tidak anti Islam. Kalangan Islam liberal, sekuler, dan palangis terlihat mengumpul di sana. Mendengar salah satu sosok bernama Hendropriyono saja sudah membuat aktivis Islam resah, mengingat salah satu pilar penting timses Jokowi-JK ini dibesarkan sebagai seorang intelijen yang anti Islam, Ia mengerti bagaimana menginventarisasi gerakan islam yang potensial bangkit.
Begitu juga, PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi dalam pemilihan presiden kali ini juga dikenal fobia jika berhadap dengan aspirasi umat Islam walaupun muncul dalam sarana legislatif di parlemen. Beberapa Undang-Undang yang lahir dari aspirasi umat Islam tercatat pernah ditolak Fraksi PDIP di DPR, seperti UU pornografi, UU ekonomi Syariah, UU produk Halal, UU bank Syariah, UU Pendidikan. Semua UU itu ditolak atas kekhawatiran adanya diskriminasi terhadap kalangan non-Muslim. Padahal di dalam isi semua UU itu, hanya mengandung semangat untuk mengatur keinginan Umat Islam yang mayoritas di negeri ini untuk hidup sesuai tuntunan agama tanpa menafikan atau mengganggu kalangan di luar Islam.
Namun dengan alasan terlalu memihak aspirasi umat Islam di dalam UU tersebut, maka PDIP dengan mengatasnamakan menjaga konstitusi negara menolaknya. Padahal mereka yang memperjuangankan aspirasi tersebut hingga menjadi UU melakukannya secara konstitusional. Mereka tidak memperjuangkannya dengan cara anarkis atau penyegelan gedung DPR-RI. Dan apabila aspirasi itu awalnya bersumber dari kalangan Islam, itu tidak menjadi masalah. Mengingat mereka juga bagian dari bangsa ini. Apalagi mereka menempati sebagai umat mayoritas di negeri ini. Tentu saja apabila kalangan di luar Islam yang hendak memasukan aspirasinya di dalam undang undang tersebut, tidak tertutup kemungkinan. Seperti UU Pornografi yang memasukan aspirasi kalangan Hindu Bali karena merasa perlu dihormati eksistensinya dalam segi berpakaian menurut adatnya.
Tuduhan tak Berdasar
Menuduh kubu Prabowo dipenuhi oleh kalangan Islam garis keras tidaklah masuk akal, mengingat jika dilihat semua kekuatan politik yang ada di pentas nasional saat ini sudah tidak ada lagi yang ingin mengganti Pancasila dan mendirikan negara Islam. Semua partai politik sekarang cenderung moderat dalam pemilihan ideologi jika tidak dibilang pragmatis. Di kubu partai Islam atau berbasis massa Islam tidak ada lagi cita-cita mendirikan negara Islam. Begitu juga di poros partai nasionalis, sudah tidak ada yang hendak mendirikan negara sekuler, bahkan mereka tidak ragu lagi mendirikan sayap Islam untuk menarik simpatik umat Islam, seperti yang terjadi di PDIP dengan mendirikan Ormas Islam Baitul Muslimin.
Lihat saja partai-partai Islam di kubu Prabowo seperti PPP, PKS, PAN mana ada mereka menuntut perubahan terhadap dasar negara. Mengingat mereka semua sudah memandang bahwa perjuangan menegakkan Islam secara substantif melalui penampungan aspirasi umat Islam dalam bentuk UU di parlemen yang sesuai dengan bingkai Bhinneka tunggal ika lebih tepat, ketimbang menegakkannya secara formal atau simbolis.
Jika dilihat tokoh-tokoh di sekitar Prabowo juga amat jauh dibilang sebagai mewakili Islam garis keras. Orang seperti Mahfud MD, Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, Amien Rais, dan sebagainya tidaklah tepat dianggap sebagai Islam garis keras. Amien Rais misalnya yang disebut di dalam surat Frans Magnis sebagai tokoh yang memperjelas pertentangan kubu Islam dengan non-Islam melalui ungkapan perang badar, jauh dari kesan Islam garis keras. Walau ia berasal dari kalangan Islam (Muhammadiyah) namun dia salah satu tokoh Islam yang tidak setuju atas simbol-simbol Islam dalam politik. tidak heran jika ia lebih memilih mendirikan PAN yang berasas Pancasila ketimbang menjadi ketua partai berasas Islam yang dikatakan sebagai baju yang kekecilan.
Jikapun yang dimaksud Islam garis keras itu adalah FPI, yang selama ini keras dalam memerangi kemaksiatan, itupun tidak berdasar. Seberapa banyak pendukung FPI selama ini? Tidak sebanyak pendukung partai politik sepertinya. Mungkin sumbangsih FPI di poros Prabowo tidak sebanyak modal yang dikucurkan Hary Tanoesoedibjo pria Kristen keturunan Tionghoa yang juga menjadi timses Prabowo. Lalu kekuatan apa yang membuat ia ditakuti jika mendukung Prabowo? Apakah karena FPI selama ini disebut sebagai ormas anarkis? Jika selama ini mereka dicap anarkis, apakah tidak boleh menyalurkan aspirasinya? Itu adalah sah saja dalam era demokrasi. Bahkan berkah demokrasi, mengingat mereka mau menyalurkan aspirasi politik secara legal dan damai melalui jalur konstitusional, pemilihan umum.
Daripada selalu mencurigai berkumpulnya banyak kelompok Islam di poros Prabowo, lebih baik kubu Jokowi dan pendukungnya introspeksi mengapa itu bisa terjadi. Mengapa mereka lebih nyaman bergabung di kubu Prabowo ketimbang Jokowi yang dikatakan merakyat, sederhana, dan jujur. Bukan malah mencurigai sebagai ancaman terhadap eksistensi pluralitas Indonesia. Jika mereka sudah banyak memperjuangkan aspirasi umat Islam dalam setiap kebijakan legislasi di parlemen, atau jika sudah berkuasa mereka mampu dengan bijak mengeksekusi kebijakan yang tidak bertentangan dengan kepentingan Islam, pasti mereka akan menuai dukungan serupa dari umat.
Kini, Jokowi-Jk telah resmi menjadi RI 1 dan 2, diharapkan bisa menjadi pemimpin yang netral, menjadi penengah segala urusan bangsa, tidak pilih kasih kepada siapapun rakyat Indonesia.
Tunjukan rasa kasih sayang seorang pemimpin kepada semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali, jangan berikan rasa rasa takut, terkekang pada rakyatnya namun tetap berwibawa. Indonesia negara besar, kini saatnya tunjukkan prestasi membangun Indonesia. Kerja, Kerja dan Kerja... Buat Rakyat Indonesia Bangga Pada mu Presiden Jokowi.
Berbagai sumber