Yusril Izha Mahendra
mantan menteri Sekertaris Negara pada kabinet Indonesia Bersatu jilid satu pada
pemerintahaan SBY, memparkan mengenai rekayasa hasil pemilu dan lembaga survei
pada pemilu di Indonesia melalui akun Twitternya.
“Saya ingin menuliskan tentang lembaga survei Pemilu
yang akhir-akhir ini sering menghebohkan dunia politik kita. Kita sudah
tahu-sama-tahu bahwa lembaga-lembaga survei yang menjamur itu bukanlah lembaga
yang murni akademis, tetapi lembaga profesial yang komersial. Tidak saya
pungkiri bahwa dalam bekerja, lembaga-lembaga survei itu menggunakan
metode-metode akademis. Namun aspek komersialnya tidak dapat diabaikan pula.
Partai politik atau politisi yang akan berkompetisi, sudah lazim
meminta lembaga survei melakukan kegiatannya. Tujuannya bukan semata-mata untuk
mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, tetapi juga untuk membentuk opini
publik.
Tidak jarang suatu lembaga survei sdh menandatangani kontrak
dengan partai politik atau politisi untuk jangka waktu tertentu. Besarnya nilai
kontrak tentu sesuai kemampuan partai atau politisi yang bersangkutan. Makin
besar uang, makin canggih lembaga surveinya.
Biasanya laporan hasil riset ada 2 macam. Satu yang benar, hanya
untuk kepentingan internal; dan yang tidak benar, untuk kepentingan publik.
Hasil survei yang tidak benar dan disulap itulah yang dijadikan konsumsi untuk
memengaruhi opini publik.
Hasil survei yang disulap itu dipublikasikan secara luas melalui
jaringan media sehingga menjadi kontroversi. Hasil survei yang disulap itu bisa
dijadikan sebagai bagian dari upaya kecurangan pemilu secara sistemik. Melalui
pengumuman hasil survei yang meluas itu, pelan-pelan opini publik akan
terbentuk, mana partai atau tokoh yang unggul, mana yang memble.
Kalau opini sudah terbentuk, langkah selanjutnya merekayasa
perolehan suara agar pas seperti hasil survei. Banyak cara dapat dilakukan
untuk merekayasa perolehan suara. Langkah pertama dimulai dari penyusunan
Daftar Pemilih Tetap (DPT). Makin kacau dan tidak akurat DPT, rekayasa akan
makin mudah. Surat suara yang berlebih, bisa dicoblos sendiri untuk menangkan
suatu parpol.
Berbagai trik untuk mengatur perolehan suara dilakukan sejak
dari tingkatan TPS (lokasi), PPS (Desa/Kelurahan), PPK (Kecamatan) sampai
Kabupaten/kota. Luasnya wilayah negara kita membuat pengawasan penghitungan
suara menjadi sangat sulit dan rumit. Ada potensi untuk curang disini.
Tiap kali Pemilu, Teknologi Infoemasi (IT) Komisi Pemilihan Umum
selalu ngadat, pengumpulan suara lamban dan membosankan. Keadaan ini membuat
orang lelah, apatis dan akhirnya putus asa serta tidak perduli lagi. Dalam
keadaan seperti itu, praktik jual beli suara, transaksi pemindahan suara dari 1
parpol ke parpol lain terjadi dengan mudahnya.
Siapa yang dapat melakukan kecurangan seperti ini? Yang dapat
melakukan kecurangan sistemik seperti itu hanya mereka yang kuat secara
politik, birokrasi dan finansial. Akhirnya Pemilu ditentukan oleh transaksi
uang dan kekuasaan. Suara rakyat dipermainkan dan dimanipulasi. Kedaulatan
rakyat hanyalah mimpi.
Akhirnya apa yang terjadi? Hasil akhir pemilu persis seperti
hasil survei yang sebelumnya sudah dicekokkan kepada public. Rakyat pun
akhirnya dapat menerima urutan pemenang pemilu, toh sudah cocok dengan hasil
survei jauh hari sebelum pemilu yang sudah ada di otak mereka. Kalau demikian,
maka bukan lembaga survei itu yang canggih bisa memprediksi hasil Pemilu. Tapi
sebaliknya, hasil pemilu yang direkayasa secara sistemik agar hasilnya sesuai
dengan hasil survei. Semoga mencerahkan mengenai sisi lain survei dan hasil
Pemilu di negeri yang makin antah berantah ini.” tutupnya.
Source: jeratnews.com