Pendukung Jokowi menyerang Yusril Ihza Mahendra.
Di dunia maya, pendukung Jokowi menyebut Yusril tidak konsisten dan ingkar
janji. Menyatakan netral dalam Pilpres 2014 tetapi Yusril jadi ahli yang
dihadirkan pasangan Prabowo-Hatta dalam sidang perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi.
Yusril menjawab,
menganggap dirinya berpihak kepada Prabowo-Hatta karena jadi ahli yang
dihadirkan pasangan tersebut sangat ngawur. Yusril tegaskan dirinya berpihak
pada hukum dan konstitusi. Menurut dia, ahli yang dihadirkan di MK tidak boleh
berpihak pada siapapun, dan bahkan bisa saja keterangannya menguntungkan atau
merugikan kepentingan salah satu pihak yang berperkara, termasuk merugikan
pihak yang menghadirkannya.
"Bagi saya, kalau saya dihadirkan sebagai ahli baik oleh MK, oleh Jokowi JK atau oleh Prabowo-Hatta, keterangan ahli saya akan sama saja," kata Yusril yang memberi pendapat dalam sidang perkara PHPU di MK pada Jumat (15/8) pekan lalu.
Untuk menjawab serangan pendukung Jokowi, Yusril mempublish pendapat yang disampaikannya di sidang MK melalui akun twitter miliknya @Yusrilihza_Mhd.
Berikut ini pendapat lengkap Yusril:
Pendapat Ahli Dalam Perkara PHPU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Di Mahkamah Konstitusi, 15 Agustus 2014
oleh Prof Dr Yusril Ihza Mahendra
Norma Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Kedaulatan, dalam persepektif hukum tatanegara, diartikan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada di alam sebuah negara. Dalam hal menentukan siapakah yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden di negara ini, Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 mengatakan "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Dengan demikian, rakyatlah, yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang yang berwenang menentukan siapa yang akan menjadi Prsiden dan Wakil Pressiden menurut mereka.
Mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihannya itu diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945, yakni melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakna secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara, organ yang melaksanakan pemilihan umum itu adalah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Karena itu, maka pelaksanan kedaulatan rakyat dalam wujud menentukan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dalam kurun waku lima tahun bukanlah sekedar persoalan norma hukum yang biasa, tetapo berkaitan langsung dengan norma konstitusi.
Dengan kata lain, persoalan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah persoalan konstitusi. Karena itulah, jika timbul perselisihan antara pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden, maka lembaga yang berwenang memutus perkara tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, adalah Mahkamah Konstitusi.
Ketika menyususn Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang MK, dalam keadaan waktu yang amat terdesak, para pemuat Undang-Undang berupaya untuk menyederhanakan kewenangan MK dalam memutus sengketa atau "perselisihan hasil pemilihan umum" menjadi semata-mata perselisihan yang terkait dengan perhitungan suara antara yang diumumkan KPU dengan perhitungan suara yang benar menurut Pemohon. Kalau hanya ini kewenangan MK, maka mendekati kebenaran kiranya apa yang dikatakan oleh Sdr. Dr. Margarito Kamis bahwa MK hanya menjadi lembaga kalkulator dalam menyelesaikan perselisihan, karena hanya terkait dengan angka-angka perhitungan suara belaka, walaupun dalam perkembangannya MK menciptakan yurisprudensi menilai perolehan suara itu apakah dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif atau tidak.
"Bagi saya, kalau saya dihadirkan sebagai ahli baik oleh MK, oleh Jokowi JK atau oleh Prabowo-Hatta, keterangan ahli saya akan sama saja," kata Yusril yang memberi pendapat dalam sidang perkara PHPU di MK pada Jumat (15/8) pekan lalu.
Untuk menjawab serangan pendukung Jokowi, Yusril mempublish pendapat yang disampaikannya di sidang MK melalui akun twitter miliknya @Yusrilihza_Mhd.
Berikut ini pendapat lengkap Yusril:
Pendapat Ahli Dalam Perkara PHPU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Di Mahkamah Konstitusi, 15 Agustus 2014
oleh Prof Dr Yusril Ihza Mahendra
Norma Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Kedaulatan, dalam persepektif hukum tatanegara, diartikan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada di alam sebuah negara. Dalam hal menentukan siapakah yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden di negara ini, Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 mengatakan "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Dengan demikian, rakyatlah, yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang yang berwenang menentukan siapa yang akan menjadi Prsiden dan Wakil Pressiden menurut mereka.
Mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihannya itu diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945, yakni melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakna secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara, organ yang melaksanakan pemilihan umum itu adalah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Karena itu, maka pelaksanan kedaulatan rakyat dalam wujud menentukan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dalam kurun waku lima tahun bukanlah sekedar persoalan norma hukum yang biasa, tetapo berkaitan langsung dengan norma konstitusi.
Dengan kata lain, persoalan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah persoalan konstitusi. Karena itulah, jika timbul perselisihan antara pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden, maka lembaga yang berwenang memutus perkara tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, adalah Mahkamah Konstitusi.
Ketika menyususn Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang MK, dalam keadaan waktu yang amat terdesak, para pemuat Undang-Undang berupaya untuk menyederhanakan kewenangan MK dalam memutus sengketa atau "perselisihan hasil pemilihan umum" menjadi semata-mata perselisihan yang terkait dengan perhitungan suara antara yang diumumkan KPU dengan perhitungan suara yang benar menurut Pemohon. Kalau hanya ini kewenangan MK, maka mendekati kebenaran kiranya apa yang dikatakan oleh Sdr. Dr. Margarito Kamis bahwa MK hanya menjadi lembaga kalkulator dalam menyelesaikan perselisihan, karena hanya terkait dengan angka-angka perhitungan suara belaka, walaupun dalam perkembangannya MK menciptakan yurisprudensi menilai perolehan suara itu apakah dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif atau tidak.
Pada hemat saya, setelah lebih satu dekade
keberadaan MK, sudah saatnya pembentuk undang-undang atau malah MK sendiri
dalam menjalankan kewenangannya untuk melangkah ke arah yang lebih substansial
dalam memeriksa, mengadidli danmmeutus sengketa Pemilihan Umum, khususnya
perselisihan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sehingga bukan
persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka.
Masalah substansial dalam pemilu sesungguhnya adalah terkait dengan konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan Pemilu, yakni adakah masalah-masalah fundamental yang diatur dalam konstitusi seperti asas pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil telah dilaksanakan dengan semestinya atau tidak baik oleh KPU maupun oleh peserta Pemilu, penyelenggara negara, pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan Pemmilu.
Begitu juga terkait dengan proseur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur oleh UUD. Selain persoalan konstitusionalitas, hal yang juga perlu menjadi pertimbangan MK adalah terkait dengan aspek-aspek legalitas pelaksanaan Pemilu sebagai aturan pelaksana UUD 1945. Memeriksa dengan seksama konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan Pemilu dan memutuskannya dengan adil menjadi sangat penting dilihat dari sudut hukum tatanegara, karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus memerintah dengan lebih dulu memperoleh legitimasi kekuasaaan, yang kalau dilihat dari perspektif hukum tatanegara, legitimasi konstitusional dan legal menjadi sangat fundamental, karena tanpa itu, siapapun yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden akan berhadapan dengan krisis legitimasi, yang akan berakibat terjadinya instabilitas politik di negara ini. Ada baiknya, dalam memeriksa perkara PHPU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kali ini, MK melangkah ke arah itu.
Demikian pendapat saya
Masalah substansial dalam pemilu sesungguhnya adalah terkait dengan konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan Pemilu, yakni adakah masalah-masalah fundamental yang diatur dalam konstitusi seperti asas pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil telah dilaksanakan dengan semestinya atau tidak baik oleh KPU maupun oleh peserta Pemilu, penyelenggara negara, pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan Pemmilu.
Begitu juga terkait dengan proseur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur oleh UUD. Selain persoalan konstitusionalitas, hal yang juga perlu menjadi pertimbangan MK adalah terkait dengan aspek-aspek legalitas pelaksanaan Pemilu sebagai aturan pelaksana UUD 1945. Memeriksa dengan seksama konstitusionalitas dan legalitas pelaksanaan Pemilu dan memutuskannya dengan adil menjadi sangat penting dilihat dari sudut hukum tatanegara, karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus memerintah dengan lebih dulu memperoleh legitimasi kekuasaaan, yang kalau dilihat dari perspektif hukum tatanegara, legitimasi konstitusional dan legal menjadi sangat fundamental, karena tanpa itu, siapapun yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden akan berhadapan dengan krisis legitimasi, yang akan berakibat terjadinya instabilitas politik di negara ini. Ada baiknya, dalam memeriksa perkara PHPU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kali ini, MK melangkah ke arah itu.
Demikian pendapat saya
Sumber: rmol