Breaking News
Loading...
Kamis, Maret 06, 2014

Info Post

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri semakin dipastikan tidak akan maju mencalonkan diri di pemilihan presiden 2014. Mega yang kini menjanda telah diposisikan sebagai ‘king maker’. Sebuah peran simbolik untuk melanggengkan agenda strategis dari arus afiliasi politik primordial: “jaringan katolik – konglomerasi Cina”, yang kian gencar mengusung Jokowi sebagai capres.

Jika demikian, maka siapa figur kunci calon wakil presiden dari PDIP…? Pertanyaan tersebut menuai berbagai spekulasi di ruang publik. Jika merujuk pada arah opini yang dimainkan oleh Kompas sebagai corong utama “jaringan katolik – konglomerasi cina”, beberapa nama seperti; Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Surya Paloh dan Ahok mulai digulirkan sebagai figur yang layak mendampingi Jokowi.


Terkait dengan kemunculan peran Ahok, menjadi menarik dan spesifik diperbincangkan. Bagi Kompas, jika pasar tidak memberi reaksi negatif, maka Ahok sangat tepat mendampingi Jokowi. Maklum, Ahok merupakan keterwakilan kekuatan arus konsolidasi konglomerasi cina yang berperan besar dalam menentukan kehadiran Jokowi di panggung politik terkini.


Selain itu, Ahok merupakan “kader emas” Gerindra yang digiring guna meredupkan potensi Prabowo Subianto agar dipastikan tidak maju sebagai Capres, dan sekaligus menarik gerbong Gerindra berkoalisi dengan PDIP. Sebuah langkah yang jitu, namun sangat bergantung pada sikap Prabowo, apakah dirinya akan terjebak pasrah pada skenario Kompas tersebut…?


Prabowo sebagai mantan Jenderal Kopasus yang memiliki segudang pengalaman militer, tentu punya cara menghadapi perubahan komitmen politik PDIP yang kian melaju meninggalkan dirinya. Dan bagaimana mungkin, Gerindra yang dibesarkan sebagai basis pendukung utamanya, dibiarkan tersandera oleh manuver Ahok secara kasatmata…?


Dari sisi peran media, suka atau tidak, Kompas makin terlihat lincah menunjukkan kemampuannya dalam menggalang afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina”. Sebuah hubungan yang lama terbangun sejak awal rezim Orde Baru, dan kini di era reformasi mengalami kematangan dengan menjadikan PDIP sebagai sarana politik.


Wajar saja, bila rangkaian opini jelang Pileg yang digulirkan Kompas tidak lepas dari tujuan mempermulus konsolidasi PDIP. Dengan target mengusung dan memenangkan Jokowi di pilpres nanti. Sebuah paket politik cerdas untuk bertarung menghadapi munculnya koalisi partai dari kubu nasionalis (Golkar-Nasdem-Gerindra-PAN-Demokrat) dan partai-partai Islam (PKS-PPP-PKB-PBB).


Harus diakui, pematangan dan persiapan PDIP untuk bertarung di Pileg dan Pilpres terbilang canggih. Di mana pemetaan yang dimainkan oleh kompas melalui afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina” merupakan kekuatan riil: Dukungan homogenitas basis politik primodial dan sokongan jaringan finansial.


Kenyataan itu, Demokrat sebagai partai berkuasa dan menjadi korban utama dari perusakan citra oleh berbagai opini Kompas, belakangan mulai memahami bahwa, PDIP tidak sekedar beroposisi terhadap kebijakan pemerintahan. Namun PDIP secara terselubung bergerak menjadi “mesin perusak” agenda reformasi, dengan memunculkan sentimen primordial “jaringan katolik – konglomerasi cina” sebagai kelompok yang siap mengambil alih kekuasaan.


Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, skenario PDIP tersebut terbilang sukses. Di mana “jaringan katolik – konglomerasi cina” terkonsolidasi secara rapi menempatkan Jokowi – Ahok sebagai pemenang, dan sekaligus lokomotif politik untuk melangkah ke tahapan Pilpres 2014. Bersambung….


http://kabarnet.wordpress.com/2013/12/16/konspirasi-politik-komando-pastor-i/

 

:::: STRATEGI & KONSPIRASI " KOMANDO PASTOR " INGIN MENGUASAI IBU PERTIWI ( I ) ::: 

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri semakin dipastikan tidak akan maju mencalonkan diri di pemilihan presiden 2014. Mega yang kini menjanda telah diposisikan sebagai ‘king maker’. Sebuah peran simbolik untuk melanggengkan agenda strategis dari arus afiliasi politik primordial: “jaringan katolik – konglomerasi Cina”, yang kian gencar mengusung Jokowi sebagai capres. Jika demikian, maka siapa figur kunci calon wakil presiden dari PDIP…? Pertanyaan tersebut menuai berbagai spekulasi di ruang publik. Jika merujuk pada arah opini yang dimainkan oleh Kompas sebagai corong utama “jaringan katolik – konglomerasi cina”, beberapa nama seperti; Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Surya Paloh dan Ahok mulai digulirkan sebagai figur yang layak mendampingi Jokowi. 

Terkait dengan kemunculan peran Ahok, menjadi menarik dan spesifik diperbincangkan. Bagi Kompas, jika pasar tidak memberi reaksi negatif, maka Ahok sangat tepat mendampingi Jokowi. Maklum, Ahok merupakan keterwakilan kekuatan arus konsolidasi konglomerasi cina yang berperan besar dalam menentukan kehadiran Jokowi di panggung politik terkini. Selain itu, Ahok merupakan “kader emas” Gerindra yang digiring guna meredupkan potensi Prabowo Subianto agar dipastikan tidak maju sebagai Capres, dan sekaligus menarik gerbong Gerindra berkoalisi dengan PDIP. Sebuah langkah yang jitu, namun sangat bergantung pada sikap Prabowo, apakah dirinya akan terjebak pasrah pada skenario Kompas tersebut…? Prabowo sebagai mantan Jenderal Kopasus yang memiliki segudang pengalaman militer, tentu punya cara menghadapi perubahan komitmen politik PDIP yang kian melaju meninggalkan dirinya. Dan bagaimana mungkin, Gerindra yang dibesarkan sebagai basis pendukung utamanya, dibiarkan tersandera oleh manuver Ahok secara kasatmata…? Dari sisi peran media, suka atau tidak, Kompas makin terlihat lincah menunjukkan kemampuannya dalam menggalang afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina”. Sebuah hubungan yang lama terbangun sejak awal rezim Orde Baru, dan kini di era reformasi mengalami kematangan dengan menjadikan PDIP sebagai sarana politik. 

Wajar saja, bila rangkaian opini jelang Pileg yang digulirkan Kompas tidak lepas dari tujuan mempermulus konsolidasi PDIP. Dengan target mengusung dan memenangkan Jokowi di pilpres nanti. Sebuah paket politik cerdas untuk bertarung menghadapi munculnya koalisi partai dari kubu nasionalis (Golkar-Nasdem-Gerindra-PAN-Demokrat) dan partai-partai Islam (PKS-PPP-PKB-PBB). Harus diakui, pematangan dan persiapan PDIP untuk bertarung di Pileg dan Pilpres terbilang canggih. Di mana pemetaan yang dimainkan oleh kompas melalui afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina” merupakan kekuatan riil: Dukungan homogenitas basis politik primodial dan sokongan jaringan finansial. Kenyataan itu, Demokrat sebagai partai berkuasa dan menjadi korban utama dari perusakan citra oleh berbagai opini Kompas, belakangan mulai memahami bahwa, PDIP tidak sekedar beroposisi terhadap kebijakan pemerintahan. Namun PDIP secara terselubung bergerak menjadi “mesin perusak” agenda reformasi, dengan memunculkan sentimen primordial “jaringan katolik – konglomerasi cina” sebagai kelompok yang siap mengambil alih kekuasaan. Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, skenario PDIP tersebut terbilang sukses. Di mana “jaringan katolik – konglomerasi cina” terkonsolidasi secara rapi menempatkan Jokowi – Ahok sebagai pemenang, dan sekaligus lokomotif politik untuk melangkah ke tahapan Pilpres 2014.

“jaringan katolik – konglomerasi Cina”, yang kian gencar mengusung memainkan peranan dalam pengendalian kekuasaan melalui pencitraan masif, sistematis, terencana, kontinue dan melibatkan mayoritas jaringan media massa nasional dan sebagian internasional untuk menyukseskan rencana pencapresan Jokowi sebagai “capres boneka” mereka.

Perkembangan politik sektarian jaringan katolik – konglomerasi Cina ini membuka mata dan kesadaran Megawati atas potensi bahaya besar dan nyata terhadap agenda non sektarian dan primordial yang diyakini oleh Megawati selaku pewaris utama idelogi Soekarnoisme dan Marhaenisme. Sungguh luar biasa ancaman terhadap ideologi legacy Bung Karno yang datang dari kelompok di PDIP sendiri. Megawati seperti akan ditikam dari belakang alias dikhianati oleh para kader dan pengurus PDIP yang selama ini dia bina dan besarkan namun kini menyeleweng karena godaan syahwat kekuasaan dan uang yang ditawarkan jaringan katolik – konglomerasi Cina.


PDIP Paska Taufik Kiemas


Sesuai dengan tulisan kami sesaat setelah wafatnya Taufiq Kiemas, 8 Juni 2013 lalu, dimana kami memprediksi pihak kanan (fanatik agamis) atau kiri (komunis, ateis) akan memperbesar peran dan pengaruhnya di PDIP, bahkan ke depan berusaha mengambilalih tampuk kekuasaan / kendali sebagai ketua umum PDIP. Upaya menyeret PDIP lebih ke kanan sekarang sedang dilakukan dengan sangat intens oleh kelompok jaringan katolik – konglomerasi Cina diantaranya melalui pemberitaan – pemberitaan media untuk membentuk opini agar Megawati mau tidak mau harus mengikhlaskan pencapresan Jokowi sebagai sebuah keniscayaan, kehendak sejarah dan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. Padahal Megawati tahu persis semua opini itu adalah sesat dan menyesatkan, hasil rekayasa kelompok jaringan katolik – konglomerasi Cina dan para kolaboratornya.


Jika demikian halnya, di mana sikap Megawati menguat untuk tidak serta merta mendukung Jokowi, maka siapa figur definitif calon presiden dan wakil presiden dari PDIP ?


Pertanyaan tersebut menuai berbagai spekulasi di ruang publik. Jika merujuk pada arah opini yang dimainkan oleh Kompas dan Gramedia Grup dan media afiliasinya sebagai corong utama “jaringan katolik – konglomerasi cina”, tetap memaksakan Jokowi sebagai pilihan utama, termasuk dengan memberi sinyal kuat kepada Megawati bahwa Jokowi dapat saja nantinya dicapreskan oleh partai – partai lain, termasuk oleh Partai Golkar yang saat ini ketumnya Aburizal Bakrie mustahil berpeluang maju sebagai capres, apalagi menang dalam pilpres 2014 mendatang. Persoalan hukum dan kemelut keuangan yang terjadi di BUMI Plc menyusul ‘fraud’ oleh Rosan P Roslani di PT. Berau Coal Energy sebesar ratusan juta dollar AS, telah menjadi skandal besar di pasar keuangan internasional yang menyeret posisi politik Aburizal Bakrie ke titik nadir, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.


Akses ke Golkar Terbuka Lebar


Sejarah panjang James Riady, Luhut Panjaitan dan para pendukung / sponsor utama Jokowi di Partai Golkar, terutama yang telah terjalin erat pada masa orde baru mendukung para ‘king makers’ Jokowi melakukan lobi dan deal politik strategis dengan Partai Golkar, termasuk dalam hal memberikan tiket capres Golkar kepada Jokowi, sepanjang terms & conditions (baca : harga dan konsesi) yang diajukan Aburizal Bakrie / Golkar dapat diterima/dipenuhi oleh James Riady, Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono cs.


Opsi lain yang dipertimbangkan kubu Jokowi jika Megawati tidak juga berkenan mendukung pencapresan Jokowi melalui PDIP adalah dengan ‘membeli’ dukungan partai lain yang mengalami krisis kader capres dan atau krisis keuangan partai /elit partai. Dengan modal finansial tanpa batas dari sumbangan para konglomerat Cina dalam dan luar negeri serta jaringan Arkansas Connection, berapa pun harga jual suara dukungan partai akan dengan mudah dibeli mereka, termasuk membeli Partai Golkar yang ketua umumnya sedang menghadapi financial distress yang tidak berkesudahan.


Peran Sentral Jaringan Katolik – Konglomerasi Cina


Melalui mayoritas media massa nasional kolaborator jaringan katolik – konglomerasi Cina, beberapa nama telah mereka gulirkan sebagai sosok bakal cawapres yang diopinikan ideal untuk mendampingi Jokowi, seperti: Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Surya Paloh, Ahok bahkan sampai Jusuf Kalla gencar digulirkan sebagai figur yang layak mendampingi Jokowi. Seolah – olah Jokowi lebih baik daripada tokoh yang disodorkan sebagai bakal cawapresnya itu


Menyongsong pilpres 2014 mendatang, jaringan Katolik – konglomerasi Cina makin yakin dengan kekuatan opini dan jaringan media mereka mampu membentuk persepsi dan preferensi pilihan rakyat, sebab itu Ahok berani dicanangkan mereka untuk menjadi salah satu opsi bakal cawapres Jokowi.


Dengan rekayasa pencitraan dan pembentukan opini, kemunculan dan peran Ahok kian ‘diblow up’ secara menjadi menarik dan kemasan apik. Pemberitaan – pemberitaan gencar membentuk opini positif untuk Ahok dinilai mereka sudah menghasilkan respon positif dari masyarakat luas.


Bagi Jaringan Katolik – Konglomerasi Cina, jika rakyat tidak memberi reaksi negatif, maka Ahok “dapat dikondisikan” sebagai pilihan yang sangat tepat mendampingi Jokowi sebagai cawapres. Ahok merupakan keterwakilan kekuatan arus konsolidasi konglomerasi Cina yang menjadi insiator, sponsor, donatur, dan berperan sangat besar dalam menentukan kehadiran Jokowi di panggung politik terkini.


Prabowo Membesarkan Anak Macan


Selain itu, Ahok merupakan “kader Gerindra” yang digiring pembentukan opini publiknya guna memenuhi syarat untuk mendampingi bakal capres Jokowi. Fenomena ini menjadi menarik sekaligus kontroversial karena rekayasa penggenjotan citra positif Jokowi secara otomatis menjadi faktor peredupan, penghalang dan memperkecil peluang bagi Prabowo sebagai capres.


Ditarik kebelakang, sebelum munculnya fenomena Jokowi, Prabowo Subianto adalah bakal capres yang paling tinggi electabilitas dan popularitasnya. Tujuan Prabowo untuk semakin memperbesar dan memperkokoh electabilitasnya menjelang pilpres 2014 dengan mengusung Duet Jokowi – Ahok pada pilkada DKI Jakarta tidak tercapai sama sekali, bahkan berbalik menjadi bumerang menghancurkan electabilitas yang sudah dibangunnya sekian lama. Prabowo blunder.


Pengusungan Jokowi – Ahok sebagai cagub dan cawagub DKI, kemudian terpilih menjadi Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, merupakan kesalahan terbesar dalam sejarah hidup Prabowo selaku politisi. Prabowo persis seperti membesarkan anak macan, yang ketika besar malan memangsa induknya sendiri.


Kesalahan fatal Prabowo itu bukan disebabkan karena kebodohan atau kenaifan Prabowo semata, juga bukan disebabkan karena adanya ‘penumpang gelap’ yang mengintervensi dan menelikung Prabowo di pilkada DKi Jakarta, yang dilakukan oleh jaringan katolik – konglomerasi cina beserta mitra pribuminya Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono dan lain – lain, melainkan terutama dan yang utama disebabkan oleh pengkhianatan dari seorang Jokowi.


Jokowi yang bermanis muka dan tersenyum lebar saat bertemu meminta restu dukungan dari Prabowo pada pra pilkada DKI Jakarta awal tahun 2012 lalu, kini berpaling dan tersenyum sinis melirik ratapan tangis Prabowo menyesali penilaian dan keputusannya terhadap sosok karakter seorang Joko Widodo.


Politik adalah seni kemungkinan dalam pencapaian tujuan dan perjuangan kepentingan dari masing – masing pribadi politisi. Jokowi berhasil menyembunyikan niat dan kepentingannya dengan sangat baik, mengecoh penglihatan Prabowo dan mengkhianatinya pada saat yang tepat. Tidak tanggung – tanggung, Jokowi menikam Prabowo dari belakang dengan bantuan penuh dari musuh terbesar Prabowo dalam hidup : Luhut Panjaitan cs !.


Tidak hanya Prabowo yang menjadi korban pengkhianatan Jokowi. Megawati dan Jusuf Kalla juga merasakan menjadi korban pengkhianatan Jokowi meski dalam bentuk dan kadar yang berbeda.


Jusuf Kalla dan Megawati Juga Korban Pengkhianatan


Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak pernah bermimpi Jokowi akan mengkhianati dirinya melalui kesediaan Jokowi menjadi bakal capres yang ditunjukan secara demonstratif tanpa malu dan sungkan di depan Megawati dan di hadapan publik Indonesia. Padahal tanggal 20 September 2012 lalu, Jokowi sudah menyampaikan pernyataan melalui konfrensi pers di kediaman Megawati. Saat konpers tersebut Jokowi menegaskan janjinya bahwa dirinya akan menjalankan masa bakti periodeisasi jabatan gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun penuh, tidak akan mencapreskan diri pada 2014.


Namun, ternyata janji Jokowi itu hanyalah pengelabuan terhadap Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo dan tokoh lain, demi mendapatkan dukungan penuh mereka semua untuk mencapai kemenangan di Pilkada DKI. Untuk menyelesaikan tahapan pertama dari sebuah grand strategi dari pendukung dan sponsor utama Jokowi yakni menempatkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia dengan kendali penuh atas kekuasaan kepresidenan berada di tangan para tuan dan majikan Jokowi ini.


Megawati memang bukan tokoh politik kemaren sore, bukan orang sembarangan dan mudah terkecoh. Sejak awal pra pilkada DKI, Mega sudah pernah menanyakan secara langsung kepada Jokowi perihal siapa sebenarnya orang – orang atau kelompok yang menjadi tim sukses Jokowi. Jawaban Jokowi yang menyebutkan bahwa tidak ada timses lain, kecuali timses dari PDIP dan Gerindra, sama sekali tidak memuaskan dan membuat percaya Megawati. Sejak itu, meski memendam curiga, Megawati tidak percaya sepenuhnya kepada Jokowi.


Pertanyaan kedua Megawati kepada Jokowi disampaikan saat pilkada putaran pertama usai. Megawati bertanya lagi, siapa timses lain di belakang Jokowi. Kembali Megawati dibohongi. Tidak ada, jawab Jokowi.


Pertanyaan ketiga disampaikan Megawati kepada Jokowi sesaat setelah Megawati mendapatkan ‘desakan massal’ dari DPD – DPD peserta Rakernas PDIP awal September 2013 lalu di Jakarta, meminta Forum Rakernas PDIP dan Megawati mengumumkan secara resmi Jokowi sebagai capres dari PDIP. Megawati yang kaget melihat dukungan solid peserta rakernas dan sebagian pengurus DPP PDIP segera mencium bau aneh dan mencurigakan. Akal sehat dan hati kecil Megawati menyimpulkan telah terjadi ‘penggalangan dukungan’ untuk pencapresan Jokowi yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Megawati, oleh ‘pihak – pihak’ tertentu yang memiliki agenda politik tertentu yang pasti berbeda dan tidak sejalan dengan kepentingan partai.


Megawati Faktor Kunci


Menyikapi ‘rencana kudeta merangkak’ kubu Jokowi itu, Megawati memanggil satu per satu ketua DPD PDIP menemui dirinya secara pribadi. Semua ketua DPD ditanya tentang motif desakan pencapresan Jokowi di forum rakernas, siapa yang menyuruh, apa kepentingan dan kompensasinya, dan lain – lain. Hasilnya, cukup mengagetkan Megawati. Mega memperoleh informasi lengkap mengenai segala sesuatu tentang Jokowi, para sponsor, donatur, jaringan, agenda politik, tujuan, implikasinya terhadap partai dan negara, dan seterusnya.


Megawati telah mencermati bagaimana Jokowi bermanuver dengan gaya khas blusukannya seolah tanpa dosa dan agenda politik tersembunyi. Begitu juga Ahok yang ikut manuver meski dengan mencoba menonjolkan sikap seolah – olah tegas tetapi malah terkesan seperti preman pasar tak tahu aturan.


Namun celaka bagi Ahok kini, kegemarannya mengeluarkan perkataan kotor, menghujat dan mengumpat kelompok tertentu terutama umat Islam dapat menjadi batu penghalang terwujudnya rencana besar yang dicita – citakan jaringan katolik dan konglomerasi Cina berkuasa mutlak di Indonesia.


Ahok kemarin blunder menghina organisasi Islam Muhammadiyah yang tidak setuju dengan rencana Ahok melokalisasi Pelacuran di Jakarta dengan menuding Muhammadiyah sebagai munafik, sekarang mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Bahkan disebutkan Ahok akan dilaporkan ke Polda Metrojaya atas tuduhan telah melakukan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik dan penistaan terhadap agama / institusi agama.


Apakah para konglomerat Cina dan mantan jenderal pendukung Ahok di balik layar kembali berhasil menunjukan kesaktiaannya dengan mempetieskan semua proses hukum yang seharusnya menjerat Ahok sebagai tersangka atau terpidana.


Ahok sejak dulu memang diketahui berambisi menjadi presiden Indonesia pada suatu saat nanti seperti tertuang dalam buku biografinya, setahun terakhir ini terus mendaki mengejar posisi sebagai cawapres. Walhasil, kedua orang pejabat tinggi DKI Jakarta itu, Jokowi – Ahok menghabiskan waktu mereka lebih banyak untuk pencitraan dan pelaksanaan program kegiatan populis seperti pesta – pesta rakyat dan konser – konser musik yang hanya sekedar memuaskan kebutuhan jangka pendek warga Jakarta tanpa ada muatan manfaat untuk kesejahteraan rakyat.


Kedua tokoh ‘boneka’ jaringan katolik dan konglomerasi cina ini terlihat sangat menikmati peran mereka sebagai tokoh pemimpin pujaan rakyat, dapat tampil di mana – mana dan setiap saat menjadi berita utama di media – media massa kolaborator para sponsor dan penyandang dana timses Jokowi – Ahok.


Hanya melalui pencitraan media plus komentar – komentar bernada puja – puji sanjung dari pengamat, akademisi, lembaga survey, tokoh – tokoh rekanan / kontraktor bayaran para majikan dan tuan Jokowi, popularitas dan electabilitas Jokowi – Ahok dapat digenjot maksimal.


Menyadari bahwa semua penilaian kinerja, popularitas dan electabilitas Jokowi – Ahok itu adalah palsu, artifisial dan temporer, baik Jokowi – Ahok maupun pendukungnya berusaha keras agar penetapan pencapresan Jokowi dan pencawapresan Ahok dapat dipastikan terwujud secepatnya sebelum semua orang terutama warga DKI Jakarta tersadar bahwa kedua tokoh itu hanyalah dan tidak lebih dari dua orang penipu, pemburu jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.


Semakin lama menjabat sebagai pemimpin Jakarta, borok dan kegagalan mereka pasti kian banyak terungkap. Contoh nyata mencuat ketika masa satu tahun kepemimpinan Jokowi – Ahok terlewati. Para pengamat dan masyarakat luas menyaksikan sendiri kegagalan Jokowi – Ahok menjalankan / menyelesaikan program – program pembangunan daerah dan penyerapan APBD DKI tahun 2013, yang hanya sekitar 50% saja atau paling rendah diantara seluruh pemprov se-Indonesia.


Kegagalan melaksanakan program – program dan penyerapan APBD DKI Tahun 2013 serta kegagalan mereka menepati puluhan janji manis yang telah terucap, kini menjadi mimpi buruk dan bom waktu yang siap meledak menghancurkan Jokowi – Ahok berkeping – keping hingga tak bersisa.


Musuh utama Jokowi – Ahok kini tidak lagi hanya para pengamat kritis, tetapi kini sudah bertambah dengan waktu yang masih tersisa. Setahun waktu berlalu telah membuktikan dan menampilkan fakta bahwa mereka berdua bukan pemimpin ideal atau pemimpin harapan rakyat sebagaimana yang digembar – gembor media, Melainkan hanya dua orang biasa yang diberi peran melakoni akting seolah – olah tokoh / pemimpin luar biasa oleh sutradara di balik layar yang selama ini menjadi tuan dan majikan.


Ketika semua rahasia kebusukan Jokowi dan Ahok terbaca oleh rakyat Indonesia, entah apa bencana yang akan menimpa mereka sebagai balasannya. Rakyat yang marah dan kecewa bisa berbuat apa saja terhadap diri Jokowi dan Ahok yang dinilai sebagai pendusta dan pengkhianat bangsa.


Peluang Prabowo dan Megawati


Untuk meredupkan potensi Prabowo Subianto agar dapat dipastikan tidak maju sebagai Capres, dan sekaligus menarik gerbong Gerindra berkoalisi dengan PDIP. Sebuah rencana langkah yang jitu, namun sangat bergantung pada sikap Prabowo, apakah dirinya akan terjebak pasrah pada skenario Jaringan Katoli, Konglomerasi Cina dan media – media kolaboratornya itu ?


Prabowo sebagai mantan Jenderal Kopasus yang memiliki segudang pengalaman militer, tentu punya cara menghadapi pengkhianatan Jokowi dan mungkin juga pengkhianatan Ahok nanti. Langkah – langkah ‘kuda’ Prabowo bisa saja tidak terduga dan menghasilkan perubahan signifikan terhadap konstelasi politik dalam beberapa waktu mendatang.


Megawati sebagai mantan presiden kian matang dan mampu bentengi diri dari bujuk rayu, desakan, tekanan, ancaman, serangan silih berganti yang dilancarkan kader – kader PDIP berjiwa khianat dan pihak luar para konglomerat cina yang menjadi kolaborator kader – kader durjana khianat tersebut. Megawati pasti sudah punya strategi dan mitra yang tepat untuk mengalahkan musuh – musuh yang ingin mengkooptasi dirinya dan mengambilalih kendali PDIP dari tangannya.


Kilas Balik Peran Strategis Media


Dari sisi peran media, suka atau tidak, Kompas makin terlihat lincah menunjukkan kemampuannya selaku koordinator bersama – sama First Media Grup dalam menggalang afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina”. Sebuah hubungan yang lama terbangun sejak awal rezim Orde Baru, dan kini di era reformasi mengalami kematangan dengan cita – cita besar menjadikan PDIP sebagai sarana politik yang sukses mengantar Jokowi sebagai Presiden RI. Selanjutnya, pengambialihan kekuasaan di PDIP hanyalah merupakan masalah pemilihan waktu yang tepat saja. Kapan dan dimana, Megawati dan dinasti Soekarno akan dilengserkan untuk selama – lamanya.


Wajar saja, bila rangkaian opini jelang Pileg yang digulirkan Kompas tidak lepas dari tujuan mempermulus konsolidasi PDIP. Dengan target mengusung dan memenangkan Jokowi di pilpres nanti. Sebuah paket politik cerdas untuk bertarung menghadapi munculnya koalisi partai dari kubu nasionalis (Golkar-Nasdem-Gerindra-PAN-Demokrat) dan partai-partai Islam (PKS-PPP-PKB-PBB).


Harus diakui, pematangan dan persiapan PDIP untuk bertarung di Pileg dan Pilpres terbilang canggih. Di mana pemetaan yang dimainkan oleh kompas melalui afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina” merupakan kekuatan riil: Dukungan homogenitas basis politik primodial dan sokongan jaringan finansial. Satu – satunya kelemahan, namun sangat menentukan adalah kegagalan mereka membujuk rayu pusat kekuasaan PDIP yakni Megawati untuk rela ikhlas mendukung Jokowi.


Kenyataan itu, Demokrat sebagai partai berkuasa dan menjadi korban utama dari perusakan citra oleh berbagai opini Kompas, belakangan mulai memahami bahwa, PDIP tidak sekedar beroposisi terhadap kebijakan pemerintahan. Namun PDIP secara terselubung bergerak menjadi “mesin perusak” agenda reformasi, dengan memunculkan sentimen primordial “jaringan katolik – konglomerasi cina” sebagai kelompok yang siap mengambil alih kekuasaan dengan keberhasilan Jokowi nanti terpilih sebagai presiden boneka.


Kilas Balik Pilkada


Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, skenario PDIP tersebut terbilang sukses. Di mana “jaringan katolik – konglomerasi cina” terkonsolidasi secara rapi menempatkan Jokowi – Ahok sebagai pemenang, dan sekaligus lokomotif politik untuk melangkah ke tahapan Pilpres 2014.


Setelah sukses membawa Jokowi – Ahok di Pilgub DKI Jakarta, kini jaringan katolik dan konglomerasi cina mengarahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi Pileg dan Pilpres 2014, dengan melibatkan semua potensi kekuatan yang ada di dalam dan di luar negeri, termasuk dan terutama dukungan mantan presiden AS Bill Clinton, konsultan politik terkemuka dunia Stan Greenberg dan tokoh – tokoh terkemuka AS lain yang tergabung dalam “Arkansas Connection”.


Dari sisi lain, dukungan finansial dan jaringan tanpa batas diberikan China Military Intelligence (CMI) yang secara konsisten selama puluhan tahun membantu usaha pemerintah China menanam pengaruh kuat di pusat – pusat kekuasaan negara – negara lain, termasuk di AS pada tahun 1993 – 2001 melalui terpilihnya presiden ‘China Amerika’ pertama Bill Clinton dengan kontribusi maksimal agen CMI : James Riady, James Huang dan lain – lain.


Konsolidasi Total Telah Dimulai


Mengutip artikel di sebuah media on line, seruan Arswendo Atmawiloto, “Jokowi adalah anugerah tuhan bagi bangsa Indonesia…”. Pesan pendek itu bermakna ideologis, tepat diluncurkan tanggal 10 Desember 2013, lima belas hari sebelum Natal. Waktu yang tepat untuk menggiring jaringan katolik – konglomerasi cina untuk bersatu dan bergeak memperjuangan PDIP dan memenangkan Jokowi sebagai presiden.


Arswendo tokoh senior Kompas yang pernah dipenjarakan pada tahun 1990 lantaran secara terang-terangan menghina Nabi Muhammad. Kader inti Komando Pastor (kompas) itu menuai kecaman publik. Pada saat itu, ratusan ribu ummat Islam berdemo dan nyaris menghancurkan kantor kompas, karena dianggap ikut menyokong sikap radikalisme Arswendo.


Tanpa diketahui publik, selama di penjara Kompas intensif menjalin hubungan dengan Arswendo dan memberinya order menulis berbagai artikel, cerpen dan novel dengan menggunakan nama samaran. Sejumlah tulisan Arswendo di terbitkan oleh kompas dan berbagai novel dicetak oleh Gramedia.


Selepasnya dari penjara, tabungan Arswendo konon dikabarkan miliaran rupiah yang bersumber dari hasil tulisan yang diterbitkan kompas. Bermodalkan kebencian kepada Islam dan dana dari kompas, Arswendo kembali berkiprah dalam dunia pengajaran seni dan pelatihan jurnalistik.


Kini, ratusan kader jurnalis yang dibinanya, direkrut menjadi redaksi kompas dan menduduki posisi menentukan kebijakan berita sebagai redaktur. Kompas memiliki sejumlah media massa cetak dan elektronik.


Dalam sebuah artikel yang dituliskan oleh seorang mantan wartawan kompas, mengatakan; “ciri dan gaya reportasi para wartawan didikan Arswendo sangat mudah diketahui. Cenderung menyentil Islam secara lembut. Jika publik tidak bereaksi, maka mereka akan menurunkan berita yang lebih keras menyerang atau mengkelabui ummat Islam stigmatisasi negatif…”


Arswendo terbilang sukses menggiring generasi muda Islam dengan berbagai opini berlatar hiburan berbau tulisan-tulisan sex. Salah satu majalah terkenal yang dipakai sebagai misi penghancuran moral kaum muda bernama HAI. Yang kemudian belakangan diketahui sebagai singkatan dari “Hancurkan Agama Islam” (HAI).


Arswendo meskipun kini tidak memangku jabatan di struktur Gramedia Group Kompas, namun ia memiliki peran dan hak mengintervensi arah opini kompas. Maka tak heran, gencarnya kompas mempromosikan PDIP dan Jokowi, semua itu tidak lepas dari peran Arswendo dan kelompok redaksi binaannya.


Dalam sebuah rapat redaksi terbatas di tingkat elit kompas mengundang Arswendo mempresentasikan strategis pemberitaan dan opini untuk memenangkan PDIP dan mempromosikan Jokowi jelang pemilu 2014.


Bocoran hasil redaksi itu kini beredar terbatas di kalangan redaktur kompas dan sejumlah wartawan berhaluan katolik di beberapa media (Metro TV, MNC Group dan Jawa Pos). isinya dari rumusan tersebut yakni:


Pertama, setahun sebelum pemilu dilaksanakan, kompas melakukan investigasi dan publikasi berbagai kasus-kasus yang melibatkan elit-elit dari partai Islam dengan memanfaatkan KPK sebagai alat legitimasi. Targetnya membangun sentimen negatif ummat Islam agar tidak percaya kepada kiprah partai-partai Islam. Sasaran “Partai Islam terkorup dan terjerat skandal sex”.


Kedua, kompas secara terus-menerus mendorong perpecahan dan perusakan citra kepemimpinan SBY dan elit partai demokrat dengan isu-isu korupsi. Selain itu, menjadikan Anas dan kelompok HMI bersatu untuk melawan SBY dan kelompoknya. Dengan sasaran, mendorong KPK agar terus mengungkap keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet dengan segala cara.


Ketiga, melancarkan isu-isu korupsi di lembaga strategis negara (lembaga kepresidenan, Kementrian, DPR/MPR RI, MK, MA dan sebagainya). Tujuannya untuk melumpuhkan kepercayaan publik sehingga lembaga negara tesebut tidak bekerja optimal. Dan menjelang pemilu, isu-isu korupsi digulirkan lebih keras agar situasi nasional berada dalam keadaan ketidakpastian.


Keempat, menghancurkan citra dan peran TNI, POLRI dan Kejaksaan dengan isu-isu korupsi. Agar ketiga lembaga tersebut menjadi kehilangan wibawa di mata publik, sembari mempromosikan KPK sebagai satu-satunya lembaga publik yang kuat dan dipercaya rakyat. Sehingga dengan demikian, Kompas dengan mudah memanfaatkan KPK untuk menghantam lawan-lawan politik yang bersebrangan dengan PDIP.


Keempat agenda yang di rumuskan oleh Arswendo dengan elit redaksi kompas kini telah berjalan mulus dan diperluas gerakannya melalui kerjasama dengan para sekutu yang seide, semisi dan setujuan.


Selain peran Arswendo dan kompas, juga terdapat kelompok serupa dari jaringan katolik – konglomerasi cina yang giat melakukan serangkaian manuver politik. Yakni, J. Kristiadi dan jaringan CSIS kini agresif melakukan konsolidasi ke berbagai jaringan akademis untuk memperkuat PDIP dan mempersiapkan pencapresan Jokowi.


Penutup


Kesuksesan rencana Jaringan Katolik dan Konglomerasi Cina berkuasa di Indonesia kini sudan di depan mata. Kekuatan utama Indonesia yakni ideologi Pancasila, sudah lama terkubur tanpa diketahui dimana nisannya. Kelompok mayoritas Islam semakin lemah dengan terus menerus memojokannya melalui berbagai isu teroris, SARA dan rasis, anti demokrasi dan HAM, labeling sebagai kelompok puritan, fanatik dan fundamental. Plus dilengkapi dengan kebebasan informasi nyaris tanpa sensor yang mencuci otak dan mengubah perilaku mayoritas muslim tak ubahnya sama dengan umat lain dengan menjujung tinggi kebebasan dan menjadikan gaya hidup individualistik, materialis hedonarsis menjadi ‘role model’ dan pandangan hidupnya. 


(copas)
Ditulis ulang: Agung Supriyanto
 

_____

LIKE and SHARE

.......... BACA SELANJUTNYA