Dari Abu Hurairah, ujarnya: Nabi
saw, bersabda: “sungguh akan terjadi penyeleksian sebagaimana
penyeleksian kurma dari tandannya. Orang-orang yang baik dari kalangan
kamu akan lenyap dan tinggallah orang-orang yang buruk akhlaqnya
diantara kamu. Oleh kerana itu, jika bisa hendaklah kamu segera mati.”(HR. Bukhori dlm Kitab Tarikh, Ibnu Majah dan Hakim)
Ciri zaman edan lainnya yang diramalkan oleh Rasulullah saw, ialah keadaan yang dipenuhi oleh orang-orang jahat atau rusak akhlaqnya. Rasulullah saw, mengibaratkan keadaan semacam ini dengan kurma-kurma jelek yang tinggal di tandannya, kerana yang baik telah dipetik oleh orang untuk dimakan. Kurma yang jelek yang masih ada ditandannya tidak akan berguna bagi manusia kerana orang tidak mau memakannya.
Bila terpaksa orang makan kurma yang jelek, hal semacam itu akan menyebabkan rasa mual, tenggorokan tidak enak menelannya, atau perut sakit. Sebagaimana halnya dengan kurma, bila manusia yang tersisa hanyalah orang-orang yang jahat, suasana akan kacau-balau.
Orang yang shalih yaitu yang mengikuti tuntunan Islam sepenuhnya. Jika dalam menjalankan Islam seseorang memilih yang disukai dan menolak yang tidak disukai, dia bukan orang yang shalih. Akan tetapi, orang yang hanya mampu mengerjakan sebagian saja dan sama sekali tidak bermaksud memilih yang enak bukan termasuk golongan orang yang tidak shalih.
Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa akan muncul zaman yang pada saat itu orang shalih ditengah masyarakat hanya sedikit, bahkan hampir lenyap, berikut gambaran telah datangnya zaman tersebut :
“Sejumlah pemuda FIS (Front of Islamique du Salut) datang kepada Syaikh Albani untuk mengadakan dialog seputar partai dan parlemen. Dialog ini berjalan lama dan direkam dalam kaset nomor 440 seri pengajian berjudul Silsilatul Huda wan Nur.....
Syaikh Albani: “...saya mendengar bahwa perkumpulan atau gerakan atau apalagi namanya saya tidak ingat, mempunyai jutaan anggota. Apakah berita ini benar?”
Jawab pemuda: “Benar.”
Tanya Syaikh Albani: “Berapa ribu ulama yang ada pada mereka?”
Jawab pemuda: “Tidak ribuan.”
Tanya Syaikh Albani: “Berapa ratus ulamanya?”
Jawab pemuda: “Tidak ratusan.”
Tanya Syaikh Albani: “Baiklah, kalau begitu siapa yang memimpin mereka, wahai jama’ah?”
Jawab pemuda: “ Ada sedikit ulama.”
Tanya Syaikh Albani: “Apakah ulama yang sedikit itu mampu memimpin jutaan anggota jama’ahnya?”
Jawab pemuda: “Tentu tidak.”
Tanya Syaik Albani: “Apakah mereka dapat mengajar jutaan orang itu?”
Jawab pemuda: “Sama sekali tidak.”
Syaikh Albani berkomentar: “Kalau begitu, kalian ini hidup dalam kekacauan dan kebingungan. Karena ternyata jutaan ummat Islam yang menjadi anggotanya hanya mempunyai beberapa orang ulama sebagai pembimbing mereka. Saya akan memberikan contoh kepada kalian suatu kejadian yang kami alami sendiri dengan berbagai partai.
Suatu saat salah seorang anggota Hizbut Tahrir (salah satu gerakan Islam yang keluar dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Pen.) saya beri nasihat: “Wahai jama’ah, kalian ingin mendirikan negara Islam, tatapi kalian tidak mempelajari salak-beluk dan pokok-pokok syari’at Islam. Kalian menulis buku-buku dengan menggunakan dalil-dalil yang sebagiannya ternyata merupakan hadits-hadits tidak shahih.
Jawab Hizbut Tahrir: “Wahai saudaraku, kami justru minta tolong kepada orang-orang semacam anda.”
Jawab Syaikh Albani: “Jawaban semacam ini merupakan kekalahan pertama, karena ketika sebuah partai mengandalkan diri pada pihak lain, hal itu berarti kekuatannya tidak sempurna.”
Orang Hizbut Tahrir itu menjawab: “Kalian ternyata menghabiskan waktu untuk membolak-balik kitab kuning saja.”
Syaikh Albani berkata: “Bukankah jutaan anggota partai ini memerlukan dokter-dokter medis? Sudah tentu anda mempunyai ratusan dokter medis, bahkan ribuan. Bukankah mereka ini juga memerlukan dokter rohani menurut istilah orang sekarang? Justru dokter-dokter rohani inilah yang lebih penting dan lebih dibutuhkan. Apakah ada pada mereka dokter-dokter rohani yang jumlahnya cukup untuk sejumlah besar anggota partai ini?”
Jawab pemuda: “Tidak.”
Syaikh Albani kemudian menceritakan kembali pembicaraannya dengan Hizbut Tahrir, katanya:
“Seandainya kalian ini dalam satu hari dapat mengibarkan bendera negara Islam dengan cara-cara revolusi, sedangkan rakyat ternyata tidak siap untuk menerima berlakunya hukum-hukum Islam, mungkin kalian akan menjawab: “Kita buat satu atau dua peraturan pemerintah. Misalnya, melarang adanya bioskop, melarang wanita keluar tanpa berjilbab, dan sebagainya.” Mungkin sekali sebagian dari wanita yang menolak ketetapan tersebut adalah istri-istri kalian sendiri. Mengapa begitu? Karena rakyat sebelumnya tidak terdidik dengan syariat Islam. Lalu siapakah yang harus mendidik rakyat ini? Tentulah para ulamanya. Apakah sembarang ulama bisa melakukannya?” Kemudian beliau membicarakan sifat ulama ahlul Qur’an dan hadits yang mumpuni, berwawasan luas serta teguh dalam mengamalkannnya.
Selanjutnya, ujar Syaikh Albani: “Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa jihad akbar dewasa ini adalah kewajiban jutaan anggota partai untuk sekedar melahirkan puluhan ulama Islam di tengah mereka, sehingga orang yang jutaan ini kelak mendapat bimbingan untuk mengenal agama mereka dan mendidik mereka dengan ajaran Islam. Adapun pengertian jihad yang dikembangkan berbagai kelompok sekarang ini tujuannya untuk merebut kekuasaan. Oleh kerana itu, setiap kelompok akan berusaha meraihnya dan setelah di peroleh, mereka menggunakan kekuasaannya untuk melaksanakan semua undang-undang dan ketetapan pemerintahannya, baik hak maupun bathil, padahal Islam tidaklah seperti itu."
Seandainya saudara-saudara kita ini mau memperhatikan nasihat yang berharga tersebut, niscaya Islam dan Ummat Islam dapat terhindar dari fitnah besar yang dewasa ini menimpa segenap negara Islam. Setiap kali dakwah Islam di kesampingkan, para pemuda Islam dengan cepat terjerumus dalam bimbingan dan pengarahan yang sesat, dan orang yang tergesa-gesa melakukan sesuatu biasanya akan memetik kegagalan.” (Haramkah Partai, Pemilu, Parlemen, Fatwa Syaikh Nashiruddin Albani, oleh Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, hal 55-62)
Dari contoh kasus diatas tergambar bahwa ulama – kalau tidak boleh dibilang tidak ada – sudah hampir lenyap.
Bila warga masyarakat secara mayoritas hanyalah orang-orang jahat dan para ulamanya tidak ada, kalaupun ada mereka adalah ulama yang menyimpang, warga masyarakat akan dipenuhi rasa jengkel dan benci. Kalaupun orang-orang yang jahat itu terpaksa hidup ditengah masyarakat yang jahat juga, sebenarnya mereka tidak menghendaki keadaan semacam itu. Mereka pasti menginginkan perubahan yang dapat memberi suasana aman, tentram, penuh rasa persudaraan, tolong-menolong, dan saling menghormati. Bila suasana semacam ini tidak pernah diperoleh, orang tentu berkeinginan lebih baik cepat mati daripada hidup penuh permusuhan, pertentangan, saling menindas, dan saling memeras.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam, menyatakan bahwa suasana masyarakat yang sudah didominasi oleh orang-orang jahat, yaitu orang-orang yang tidak lagi memiliki tata kehidupan berdasarkan tuntunan akhlaq agama, akan memunculkan harapan orang yang hidup pada masa itu agar segera mati, kerena tidak tahan lagi menghadapi hidup yang serba celaka.
[Buku 25 ciri zaman edan & 20 langkah menghadapinya]
---