Breaking News
Loading...
Rabu, Februari 19, 2014

Info Post

Dibawah ini kami tampilkan dua buah tulisan yang mencerminkan bagaimana cara-cara Hizbut Tahrir dalam menapaki dunia politik nya, tampak disana bagaimana sikapnya terhadap kelompok politik lain dan bagaimana cara mereka berkelit ketika terpojok yang pada akhirnya memunculkan polemik atas sikapnya terhadap pemilu, yang awalnya menolak tegas namun ketika dikejar oleh pemerintah menjadi mengendur dan memperbolehkan.

Mari kita simak bersama artikel berikut :

1. HTI Ternyata Tak Golput
Adanya rumor santer selama ini yang mengatakan bahwa para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menganjurkan massanya untuk tidak memilih dalam pemilu 2009 alias golput ternyata tidak benar. Rumor tersebut dibantah salah seorang petinggi DPP-HTI, M. Wahiduddin.
  Kepada Suara Islam On line yang menemuinya seusai dialog antara pimpinan Komisi Peilihan Umum (KPU) dengan para tokoh Agama di Hotel Nikko, Jakarta (26/2), Wahid menegaskan HTI tidak pernah menganjurkan massanya untuk menjadi golput, tetapi justru menganjurkan untuk memilih dalam pemilu nanti.

“HTI tidak pernah menganjurkan golput. HTI membebaskan massa dan simpatisannya untuk memilih partai manapun sesuai dengan aspirasi politiknya. HTI tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk memilih partai tertentu alias netral dalam pemilu,” ujar Wahid.

Keberadaan organisasi Islam internasional yang dikenal anti demokrasi alias anti parlemen ini memang selalu dicurigai sebagai biang golput. Namun kehadiran Wahidudin sebagai wakil DPP-HTI dalam sosialisasi untuk mensukseskan pemilu itu kiranya menghilangkan kecurigaan tersebut. Ini nampak dari pernyataan Anggota KPU Endang Sulastri yang mengawali sosialisasi itu sebelum Ketua KPU yang antara lain menyebut bahwa salah satu alasan golput adalah demokrasi tidak sesuai dengan ajaran agama. 

Sosialisasi Pemilu kepada para tokoh agama yang pertama kali dilakukan oleh KPU itu dipimpin langsung oleh Ketua KPU Abdul Hafizh Anshari dan dihadiri oleh para tokoh antara lain Aisyah Amini (MUI), Muhammad Al Khaththath Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ramlan Marjoned (DDII), Agusdin (KISDI), Abdus Somad Ngile (Al Irsyad), Fikri Bareno (Al Ittihadiyah), dan Masdar Mas’udi dari PBNU. Juga hadir tokoh-tokoh agama dari PGI, Matakin, dan lain-lain. (lim/mj/www.suara-islam.com)

2. HTI Fitnah PKS
SYARI’AT ISLAM TANPA TABAYYUN, APAKAH ADA?

Apabila seseorang yang cinta syari’ah dan Islam, maka orang tersebut akan mendahulukan bertabayyun sebelum mengeluarkan berita beraroma fitnah kepada publik. Hal ini terkait dengan artikel yang termuat dalam buletin Al-Islam edisi 356, 23 Mei 2007. Mungkin kasus dana DKP bagi sebagian pihak sudah cukup ‘usang’, namun kebenaran kapanpun harus diungkap agar fitnah menjadi hancur. Buletin Al-Islam, yang merupakan salah satu produk utama HTI, disalah satu paragrafnya menyebutkan sebagai berikut:

“… Bahkan tim sukses pasangan calon terpilih SBY-JK juga mendapatkan aliran dana sebesar Rp225 juta. ICW juga mencatat bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun mendapatkan dana sejumlah Rp 300 juta….”

Berikut ini saya petikkan sebagian dari tanggapan Presiden PKS yang dilansir http://www.pk-sejahtera.org (Kamis, 24 Mei 2007 ) terkait dengan tuduhan HTI diatas;

“ … PK-Sejahtera Online: JAKARTA—Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ir H Tifatul Sembiring menegaskan tidak pernah menerima dana bantuan dari Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia(DKP RI). Hal tersebut diungkapkannya menanggapi adanya tudingan beberapa partai politik yang menerima dana non bujeter DKP. “PKS tidak pernah menerima dana DKP,” tegas Tifatul di Jakarta, Kamis (24/5). 

Mengenai Fachry Hamzah yang disebut-sebut oleh Sekjen Rokhmin menerima dana DKP, mengklarifikasi bahwa yayasannya yang bergerak di bidang riset disumbang oleh Rokhmin karena sering konsultasi dengan Fachry dan memberikan tugas-tugas penyusunan konsep.

Mantan Presiden PKS DR Hidayat Nur Wahid menyatakan tidak ada dana dari DKP masuk ke rekening Bendahara PKS dan hal ini telah diaudit oleh KPU. Sementara Pak Suswono secara pribadi pernah meminjam uang kepada Rokhmin sebesar Rp. 100 juta dan pinjaman itu sudah dilunasi kembali, anehnya catatan sekretaris Rokhmin tidak mencatat pengembalian itu.

Hasil Tim Investigasi yang dibentuk PKS sementara menyimpulkan bahwa beberapa pribadi yang menjadi pengurus yayasan, yang mengelola kelompok tani, nelayan dan mengadakan acara-acara baksos pernah mengajukan proposal (secara perseorangan) yang mungkin diidentifikasi sebagai kader PKS, mereka disumbang Rokhmin. Ada yang menyatakan, waktu disumbang tidak etis menanyakan sumber dana. Catatan sekretaris DKP tidak jelas keakuratannya. Jadi harus ditegaskan dengan gamblang dan dibuktikan di pengadilan kebenarannya…. ”

Berita yang di lansir http://www.detik.com tanggal 20/05/2007 14:31 WIB dengan judul “PKS Juga Bantah Terima Dana DKP” disebutkan sebagai berikut:

“ …Secara institusi PKS tidak terlibat,” kata Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek Dr. Shohibul Iman usai peringatan Milad Pks di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Minggu (20/5/2007).
Shohibul menjelaskan dana DKP yang diterima oleh kader PKS sifatnya uang bantuan Idul Adha dan bersifat pinjaman. Ketika dipinjam oleh kader PKS, dana itu dicatat oleh pihak DKP. Namun ketika dikembalikan tidak dicatat. Kader PKS tersebut mempunyai bukti kwitansi mengenai pengembalian pinjaman tersebut. …”

Dan berikut ini adalah petikan dari Surat Klarifikasi Fahri Hamzah Ke Badan Kehormatan DPR yang dilansir oleh situs http://www.fpks-dpr.or.id Kamis, 07/06/2007);

“… Setelah saya pelajari surat dan seluruh berkas yang dilampirkan, termasuk BAP Rokhmin Dahuri yang dibuat KPK, ternyata ICW melakukan kesalahan karena menyebut saya sebagai salah satu dari 5 (lima) anggota DPR-RI penerima dana DKP (sesuai lampiran tanpa nomor halaman). Di sana disebutkan bahwa saya telah menerima dana sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) pada tanggal 8 Februari 2004 dan 9 Juni 2004. Hal tersebut yang dijadikan dasar bagi ICW untuk melaporkan saya kepada Badan Kehormatan DPR-RI karena dianggap telah melanggar Peraturan Tata Tertib DPR-RI pasal 59 ayat (1) dan Pasal 11 Kode Etik DPR RI.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, saya merasa keberatan dan melakukan klarifikasi sebagai berikut:

1. Saya tidak melanggar Peraturan Tata Tertib DPR-RI dikarenakan pada saat itu saya bukan Anggota DPR-RI. Saya baru menjadi anggota DPR-RI sejak tanggal 23 September 2004 sesuai dengan Keputusan Presiden RI nomor 137/M tahun 2004 dan pelantikan saya dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2004. Jadi jelas telah terjadi kekeliruan yang sangat fatal yang dilakukan oleh ICW terhadap saya.

2. Oleh karena itu, saya mohon agar kiranya Badan Kehormatan segera membuat surat klarifikasi kepada ICW mengenai hal tersebut, guna menjaga kewibawaan institusi DPR RI umumnya dan khususnya saya selaku pihak yang dirugikan. …”
..
Semoga ‘kelompok’ yang selama ini lantang menyuarakan jargon syariah dan khilafah (tentu ini sesuatu yang baik) merasa cukup dengan beberapa kutipan penjelasan ini, dan tidak lagi menjadi harokah yang ikut-ikutan latah menebar fitnah (untuk mendapatkan keuntungan tertentu? mudah-mudahan tidak. Amiin)

Saya tidak sepakat jika Sdr. Muhammad Lazuardi (yang saya hubungi via telp di alamat: Hizbut Tahrir Indonesia Gedung Anakida Lt.7, Jl.Prof.Soepomo No.27 Tebet Jakarta Selatan Telp/Fax: 021-8312111, E-mail: info@hizbut-tahrir.or.id ), jika penulisan artikel bernada ‘tendensius’ itu dikatakan sebagai ‘nasehat’ (jika memang benar adanya). Terus kalo berita itu salah?? Harus dinamakan apa selain dari kata ‘fitnah’?

Apalagi artikel tersebut sudah tersebar melalui masjid-masjid yang didalamnya datang manusia untuk sujud kepada Allah. Apakah saat ini masjid sudah menjadi sarana HTI untuk menebar propaganda dan fitnah? Yang saya yakin pasti akan memunculkan dengki dan mata-rantai fitnah (sekali lagi, mudah-mudahan tidak). Dan lebih parah lagi? Artikel tersebut tidak memenuhi kode etik jurnalistik yang harus mengedepankan ‘klarifikasi’ pihak-pihak yang sangat mungkin dirugikan akibat pemuatan artikel tersebut. Media ‘kafir’ saja paham etika jurnalistik, ee.. harokah yang jargonnya syari’ah dan khilafah ko’ menginjak-injak Islam itu sendiri dengan cara mengesampingkan tabayyun atau klarifikasi. Bukankah tabayyun bagian dari tata nilai dan syari’at Islam?

Pertanyaan besarnya adalah, Apa tanggung jawab HTI kepada kaum muslimin untuk membersihkan fitnah ini dan mengakui kesalahan terhadap apa yang ditulis dalam artikel? Apakah akan diulas kembali dengan mencantumkan permohonan maaf kepada kaum muslimin yang sudah teracuni tulisan dalam buletin Al-Islam tersebut melalui media yang sama? Ditunggu aksi dan nyali HTI untuk berani mengakui kesalahan kepada umat ini. 


---

_____

LIKE and SHARE

.......... BACA SELANJUTNYA