Dibawah ini kami tampilkan dua buah
tulisan yang mencerminkan bagaimana cara-cara Hizbut Tahrir dalam
menapaki dunia politik nya, tampak disana bagaimana sikapnya terhadap
kelompok politik lain dan bagaimana cara mereka berkelit ketika terpojok
yang pada akhirnya memunculkan polemik atas sikapnya terhadap pemilu,
yang awalnya menolak tegas namun ketika dikejar oleh pemerintah menjadi
mengendur dan memperbolehkan.
Mari kita simak bersama artikel berikut :
1. HTI Ternyata Tak Golput
Adanya rumor santer
selama ini yang mengatakan bahwa para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) menganjurkan massanya untuk tidak memilih dalam pemilu 2009 alias
golput ternyata tidak benar. Rumor tersebut dibantah salah seorang
petinggi DPP-HTI, M. Wahiduddin.
Kepada Suara Islam On line yang
menemuinya seusai dialog antara pimpinan Komisi Peilihan Umum (KPU)
dengan para tokoh Agama di Hotel Nikko, Jakarta (26/2), Wahid menegaskan
HTI tidak pernah menganjurkan massanya untuk menjadi golput, tetapi
justru menganjurkan untuk memilih dalam pemilu nanti.
“HTI tidak pernah menganjurkan golput. HTI membebaskan massa dan simpatisannya untuk memilih partai manapun sesuai dengan aspirasi politiknya. HTI tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk memilih partai tertentu alias netral dalam pemilu,” ujar Wahid.
Keberadaan organisasi Islam internasional yang dikenal anti demokrasi alias anti parlemen ini memang selalu dicurigai sebagai biang golput. Namun kehadiran Wahidudin sebagai wakil DPP-HTI dalam sosialisasi untuk mensukseskan pemilu itu kiranya menghilangkan kecurigaan tersebut. Ini nampak dari pernyataan Anggota KPU Endang Sulastri yang mengawali sosialisasi itu sebelum Ketua KPU yang antara lain menyebut bahwa salah satu alasan golput adalah demokrasi tidak sesuai dengan ajaran agama.
Sosialisasi Pemilu kepada para tokoh agama yang pertama kali dilakukan oleh KPU itu dipimpin langsung oleh Ketua KPU Abdul Hafizh Anshari dan dihadiri oleh para tokoh antara lain Aisyah Amini (MUI), Muhammad Al Khaththath Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ramlan Marjoned (DDII), Agusdin (KISDI), Abdus Somad Ngile (Al Irsyad), Fikri Bareno (Al Ittihadiyah), dan Masdar Mas’udi dari PBNU. Juga hadir tokoh-tokoh agama dari PGI, Matakin, dan lain-lain. (lim/mj/www.suara-islam.com)
“HTI tidak pernah menganjurkan golput. HTI membebaskan massa dan simpatisannya untuk memilih partai manapun sesuai dengan aspirasi politiknya. HTI tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk memilih partai tertentu alias netral dalam pemilu,” ujar Wahid.
Keberadaan organisasi Islam internasional yang dikenal anti demokrasi alias anti parlemen ini memang selalu dicurigai sebagai biang golput. Namun kehadiran Wahidudin sebagai wakil DPP-HTI dalam sosialisasi untuk mensukseskan pemilu itu kiranya menghilangkan kecurigaan tersebut. Ini nampak dari pernyataan Anggota KPU Endang Sulastri yang mengawali sosialisasi itu sebelum Ketua KPU yang antara lain menyebut bahwa salah satu alasan golput adalah demokrasi tidak sesuai dengan ajaran agama.
Sosialisasi Pemilu kepada para tokoh agama yang pertama kali dilakukan oleh KPU itu dipimpin langsung oleh Ketua KPU Abdul Hafizh Anshari dan dihadiri oleh para tokoh antara lain Aisyah Amini (MUI), Muhammad Al Khaththath Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ramlan Marjoned (DDII), Agusdin (KISDI), Abdus Somad Ngile (Al Irsyad), Fikri Bareno (Al Ittihadiyah), dan Masdar Mas’udi dari PBNU. Juga hadir tokoh-tokoh agama dari PGI, Matakin, dan lain-lain. (lim/mj/www.suara-islam.com)
2. HTI Fitnah PKS
SYARI’AT ISLAM TANPA TABAYYUN, APAKAH ADA?
Apabila seseorang yang
cinta syari’ah dan Islam, maka orang tersebut akan mendahulukan
bertabayyun sebelum mengeluarkan berita beraroma fitnah kepada publik.
Hal ini terkait dengan artikel yang termuat dalam buletin Al-Islam edisi
356, 23 Mei 2007. Mungkin kasus dana DKP bagi sebagian pihak sudah
cukup ‘usang’, namun kebenaran kapanpun harus diungkap agar fitnah
menjadi hancur. Buletin Al-Islam, yang merupakan salah satu produk utama
HTI, disalah satu paragrafnya menyebutkan sebagai berikut:
“… Bahkan tim sukses
pasangan calon terpilih SBY-JK juga mendapatkan aliran dana sebesar
Rp225 juta. ICW juga mencatat bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun
mendapatkan dana sejumlah Rp 300 juta….”
Berikut ini saya petikkan sebagian dari tanggapan Presiden PKS yang dilansir http://www.pk-sejahtera.org (Kamis, 24 Mei 2007 ) terkait dengan tuduhan HTI diatas;
“ … PK-Sejahtera
Online: JAKARTA—Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ir H Tifatul
Sembiring menegaskan tidak pernah menerima dana bantuan dari Departemen
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia(DKP RI). Hal tersebut
diungkapkannya menanggapi adanya tudingan beberapa partai politik yang
menerima dana non bujeter DKP. “PKS tidak pernah menerima dana DKP,”
tegas Tifatul di Jakarta, Kamis (24/5).
Mengenai Fachry Hamzah
yang disebut-sebut oleh Sekjen Rokhmin menerima dana DKP,
mengklarifikasi bahwa yayasannya yang bergerak di bidang riset disumbang
oleh Rokhmin karena sering konsultasi dengan Fachry dan memberikan
tugas-tugas penyusunan konsep.
Mantan Presiden PKS DR
Hidayat Nur Wahid menyatakan tidak ada dana dari DKP masuk ke rekening
Bendahara PKS dan hal ini telah diaudit oleh KPU. Sementara Pak Suswono
secara pribadi pernah meminjam uang kepada Rokhmin sebesar Rp. 100 juta
dan pinjaman itu sudah dilunasi kembali, anehnya catatan sekretaris
Rokhmin tidak mencatat pengembalian itu.
Hasil Tim Investigasi
yang dibentuk PKS sementara menyimpulkan bahwa beberapa pribadi yang
menjadi pengurus yayasan, yang mengelola kelompok tani, nelayan dan
mengadakan acara-acara baksos pernah mengajukan proposal (secara
perseorangan) yang mungkin diidentifikasi sebagai kader PKS, mereka
disumbang Rokhmin. Ada yang menyatakan, waktu disumbang tidak etis
menanyakan sumber dana. Catatan sekretaris DKP tidak jelas
keakuratannya. Jadi harus ditegaskan dengan gamblang dan dibuktikan di
pengadilan kebenarannya…. ”
Berita yang di lansir http://www.detik.com tanggal 20/05/2007 14:31 WIB dengan judul “PKS Juga Bantah Terima Dana DKP” disebutkan sebagai berikut:
“ …Secara institusi PKS
tidak terlibat,” kata Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek Dr. Shohibul Iman
usai peringatan Milad Pks di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Minggu
(20/5/2007).
…
…
Shohibul menjelaskan
dana DKP yang diterima oleh kader PKS sifatnya uang bantuan Idul Adha
dan bersifat pinjaman. Ketika dipinjam oleh kader PKS, dana itu dicatat
oleh pihak DKP. Namun ketika dikembalikan tidak dicatat. Kader PKS
tersebut mempunyai bukti kwitansi mengenai pengembalian pinjaman
tersebut. …”
Dan berikut ini adalah petikan dari Surat Klarifikasi Fahri Hamzah Ke Badan Kehormatan DPR yang dilansir oleh situs http://www.fpks-dpr.or.id Kamis, 07/06/2007);
“… Setelah saya pelajari
surat dan seluruh berkas yang dilampirkan, termasuk BAP Rokhmin Dahuri
yang dibuat KPK, ternyata ICW melakukan kesalahan karena menyebut saya
sebagai salah satu dari 5 (lima) anggota DPR-RI penerima dana DKP
(sesuai lampiran tanpa nomor halaman). Di sana disebutkan bahwa saya
telah menerima dana sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) pada
tanggal 8 Februari 2004 dan 9 Juni 2004. Hal tersebut yang dijadikan
dasar bagi ICW untuk melaporkan saya kepada Badan Kehormatan DPR-RI
karena dianggap telah melanggar Peraturan Tata Tertib DPR-RI pasal 59
ayat (1) dan Pasal 11 Kode Etik DPR RI.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, saya merasa keberatan dan melakukan klarifikasi sebagai berikut:
1. Saya tidak melanggar Peraturan Tata Tertib DPR-RI dikarenakan pada saat itu saya bukan Anggota DPR-RI. Saya baru menjadi anggota DPR-RI sejak tanggal 23 September 2004 sesuai dengan Keputusan Presiden RI nomor 137/M tahun 2004 dan pelantikan saya dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2004. Jadi jelas telah terjadi kekeliruan yang sangat fatal yang dilakukan oleh ICW terhadap saya.
2. Oleh karena itu, saya mohon agar kiranya Badan Kehormatan segera membuat surat klarifikasi kepada ICW mengenai hal tersebut, guna menjaga kewibawaan institusi DPR RI umumnya dan khususnya saya selaku pihak yang dirugikan. …”
..
Semoga ‘kelompok’ yang
selama ini lantang menyuarakan jargon syariah dan khilafah (tentu ini
sesuatu yang baik) merasa cukup dengan beberapa kutipan penjelasan ini,
dan tidak lagi menjadi harokah yang ikut-ikutan latah menebar fitnah
(untuk mendapatkan keuntungan tertentu? mudah-mudahan tidak. Amiin)
Saya tidak sepakat jika
Sdr. Muhammad Lazuardi (yang saya hubungi via telp di alamat: Hizbut
Tahrir Indonesia Gedung Anakida Lt.7, Jl.Prof.Soepomo No.27 Tebet
Jakarta Selatan Telp/Fax: 021-8312111, E-mail: info@hizbut-tahrir.or.id
), jika penulisan artikel bernada ‘tendensius’ itu dikatakan sebagai
‘nasehat’ (jika memang benar adanya). Terus kalo berita itu salah??
Harus dinamakan apa selain dari kata ‘fitnah’?
Apalagi artikel tersebut
sudah tersebar melalui masjid-masjid yang didalamnya datang manusia
untuk sujud kepada Allah. Apakah saat ini masjid sudah menjadi sarana
HTI untuk menebar propaganda dan fitnah? Yang saya yakin pasti akan
memunculkan dengki dan mata-rantai fitnah (sekali lagi, mudah-mudahan
tidak). Dan lebih parah lagi? Artikel tersebut tidak memenuhi kode etik
jurnalistik yang harus mengedepankan ‘klarifikasi’ pihak-pihak yang
sangat mungkin dirugikan akibat pemuatan artikel tersebut. Media ‘kafir’
saja paham etika jurnalistik, ee.. harokah yang jargonnya syari’ah dan
khilafah ko’ menginjak-injak Islam itu sendiri dengan cara
mengesampingkan tabayyun atau klarifikasi. Bukankah tabayyun bagian dari
tata nilai dan syari’at Islam?
Pertanyaan besarnya
adalah, Apa tanggung jawab HTI kepada kaum muslimin untuk membersihkan
fitnah ini dan mengakui kesalahan terhadap apa yang ditulis dalam
artikel? Apakah akan diulas kembali dengan mencantumkan permohonan maaf
kepada kaum muslimin yang sudah teracuni tulisan dalam buletin Al-Islam
tersebut melalui media yang sama? Ditunggu aksi dan nyali HTI untuk
berani mengakui kesalahan kepada umat ini.
---