Inilah Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap Media - Jika kita bicara tentang sosok Prabowo Subianto, mungkin bagi yang tahu pasti akan di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 dimana Prabowo Subianto menjadi salah satu aktornya. Itu yang di gemborkan media yang mungkin Anda tahu. Tapi tahukah Anda bahwa sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Prabowo Subianto lah yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda penasaran ?, mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Prabowo Subianto yang sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini cukup panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama ya.
Jum’at 14 Maret
2014, Kompas TV menayangkan Prabowo Subianto dalam acara Aiman Dan…. Prabowo
adalah salah satu nama yang maju dalam pemilihan presiden Republik Indonesia.
Karena posisi presiden di RI, sesungguhnya lebih berkuasa daripada presiden
Amerika Serikat maupun Rusia, presiden RI haruslah yang terbaik dari yang ikut
bertarung. Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya bukan kader Partai
Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok Prabowo Subianto yang
kontroversial dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Tujuannya adalah agar
masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang tentang calon
pemimpin yang akan dipilihnya termasuk Prabowo. Mengingat begitu krontroversial
dan banyaknya disinformasi mengenai tokoh yang satu ini.
Prabowo
lahir di Jakarta 17 Oktober 1951.
Beliau adalah mantan Danjen Kopasus
(Komandan Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses, politisi,
dan calon presiden 2014. Prabowo adalah putra dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga
cucu dari Raden Mas Margono
Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga merupakan pendiri Bank Nasional
Indonesia (BNI). Dari silsilahnya tampak bahwa Prabowo memiliki “darah biru”
elit pemimpin Indonesia. Bahkan jauh sebelum republik ini lahir.
Prabowo menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Saat ini,
Titiek sendiri menjadi calon anggota legislatif dari Partai Golongan Karya
(Golkar). Keputusan yang tampak prospektif saat itu namun menjadi blunder dalam
hidupnya dikemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, Prabowo
mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat
cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia). Meski beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang
tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo juga diterima di American School In
London, Britania Raya.
Karirnya dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan
membanggakan. Karir militer Prabowo termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Prabowo bahkan sempat disebut sebagai
“The Brightest Star”. Dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia
46 tahun.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai
“antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau
yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan
“The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira
intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan
berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo
cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo akan
menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala
konsekuensinya.
Awal Fitnah
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan
aktivis yang telah mencoreng nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir
militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak
pernah mngungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada Prabowo yang notabene menjadi
tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar prasangka publik
menghukum Prabowo lebih berat daripada “dosanya”. Meski Prabowo berikeras
mengatakan tak pernah perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung jawab
anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata beliau saat itu.
Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang
gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo. Jika Prabowo
benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius L Lanang
dan Desmond J Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo justru sudah
teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka
yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, selalu
terkesan ragu-ragu tampaknya Prabowo adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak
dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah maka
Prabowo adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih
mengorbankan anak buahnya, Prabowo memilih untuk ambil alih tanggung jawab dan
menanggung sendiri resikonya. Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang
pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tetapi justru yang terakhir.
Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai tenggelam, kapten
kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya dirinya sendiri gagal
selamat. Sayang, karir militer Prabowo yang gilang gemilang itu berakhir dengan
cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan.
Prabowo bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses
perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun
1998. Berbicara tentang Prabowo kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei
1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya. Sebagai pihak yang kalah
Prabowo menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Seperti kata pepatah,
tinta sejarah adalah milik pemenang. Ini tentu saja berpotensi menjadi
pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan
dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo.
Jika memang benar Prabowo adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap
peristiwa itu maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan
Prabowo yang karir gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu
harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu
tidak benar? Layakkah Prabowo tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas
layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putra
terbaiknya?
Jauh sebelum peristiwa Mei 98 proses penghancuran nama baik
Prabowo sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo dan Wiranto.
Ketidak harmonisan Prabowo dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama.
Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo yang
kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka. Sementara Wiranto
dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun Prabowo
yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas
semacam itu sebagai hal biasa dan tidak dijadikan personal. Berbeda dengan
Wiranto yang berlatar belakang sangat “Jawa Tradisional” itu, dia lebih mirip
dengan Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas.
Lihat saja
nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militer atau
politiknya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara. Salah satu
contohnya adalah kawan saja, Fadjroel
Rachman, yang sempat mendekam di Nusa Kambangan dan kehilangan
teman-temannya. Fadjroel sendiri akhirnya bebas ketika Habibie menjadi presiden.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya
beliau sebagai Pangab (Panglima ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad
Letjen Soegiono kepada Prabowo. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat
Prabowo sebagai perwira militer. Beliau mencopot tanda-tanda pangkat Prabowo
dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer Prabowo
memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua.
Prabowo sebagai
gambaran perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi
Prabowo saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi dia adalah menantu penguasa
yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain akibat
manuver Wiranto dkk, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya
sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya Habibie, beliau
menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” Prabowo. Bagaimana hal tersebut
bisa terjadi? Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu.
Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.
Ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo, yaitu:
Penculikan akitivis, penembakan mahasiswa Trisakti, dan dalang kerusuhan Mei
1998. Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo bersalah
bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai panglima beliau yang
seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo tidak
pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela
diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying
time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali
ke Prabowo, yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang
dibalik penembakan itu.
Meski banyak
sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah sudah mencapai sasaran. Dan
sekali lagi Prabowo terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo
di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri
sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena
peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56
mm. Sementara korban dipilih secara acak. Kalau snipper akan memilih misalnya
pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari setelah insiden Trisakti, Prabowo
datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Alquran dia bersumpah. Di depan
Syaharir Mulyo Utomo orang tua korban, “Demi Allah saya tidak pernah
memerintahkan pembantaian mahasiswa.”
Perihal keterlibatan Prabowo atas penembakan mahasiswa
Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf
Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo dan
tokoh masyarakat, antara lain: Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi
Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam pertemuan itu Prabowo ditanya tentang
keterlibatannya. Prabowo menjawab, “Demi Allah saya tidak terlibat, saya di
set-up.” Menurut Buyung terlihat jujur. Peristiwa selanjutnya semakin
memperkuat ketidak terlibatan Prabowo atas peristiwa penembakan mahasiswa
tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo
Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Disinilah peran
Wiranto terlihat.
17 hari setelah insiden itu berlalu baru Wiranto memanggil
Dibyo untuk memerintahkan untuk menyerahkan anggota. Itupun anggota diserahkan
ke Polda bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI
dan Pangabnya adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru
diserahkan tanggal 19 Juni 98. Hampir satu bulan sejak peristiwa terjadi.
Kelak tahun
2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal dari
anggota Polri unit gegana. Siapa sesungguhnya dibalik pristiwa itu? Siapa yang
beri perintah? Jelas bukan Prabowo yang sebagai Pangkostrad tidak punya jalur
komando ke Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan.
Bagaimana dengan tuduhan Prabowo sebagai otak dibalik kerusuhan Mei 98?
Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi
beliau dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung diantara para
elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena
spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan
‘terror by design’ (teror yang didesain)?
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang
untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus
memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para
pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita
yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu.
Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa
penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran.
Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 98 itu
bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa
pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi?
Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto
pada peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat ibukota sedang
genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di ibukota,
tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah
terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi Inspektur upacara
(irup) nya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan,
untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa berhalangan hadir. Bagaimana
mungkin dalam kondisi ibukota yang genting dia sebagai pemegang kunci komando
lebih memilih jadi irup acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa
diterima akal sehat. Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin
rapat Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan
lagi bahwa Kasum TNI Fahariur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad Prabowo
menjadi irup di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto.
Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Wiranto sebagai Pangab tidak tahu
menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota terjadi kerusuhan Wiranto malah
pergi ke Malang dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen kopasus,
komandan Marinir, dll. Lebih mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo sudah brulang
kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show
must goon”. Ini mirip dengan Soeharto tahu akan gerakan 30 September namun
sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.
Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998
Panglima TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas
permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad
Prabowo kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo kemudian
membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong,
Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam. Tetapi sekali lagi Wiranto tidak mau
memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo mencarter sendiri pesawat
Garuda dan Mandala. Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu
panglima wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi.
Tetapi yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Wiranto untuk
mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut.
Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada
Prabowo yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Wiranto sudah
menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir?
Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah
mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo sendiri sudah
mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang?
Mengapa Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk
Pam Swakarsa?
Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan
kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam
Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI)
yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun
belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut
kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan Kakostrad
Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto untuk membentuk
Pam Swaraksa. Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo
sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat
Prabowo mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis”
toko-toko, justru Panglima TNI melalui Kasum Fahariur Razi malah melarang
pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan
yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang
tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya
ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi
dibumi hanguskan.
Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang
sesungguhnya dari kerusuhan Mei 98 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu
Djalal. Melihat kondisi ibukota yang semakin tidak terkendali, beliau
menyarankan untuk memberlakukan jam malam. Namun Wiranto tidak bergeming.
Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan kepada Wiranto saat
itu. Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah bagian dari “rencana”. Makin
terkuak disini bahwa Prabowo yang justru berupaya mengamankan situasi malah
dijadikan kambing hitam sebagai pelaku kudeta.
Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu
murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan
saat itu? Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi
testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto. Dia yang ditugasi perintah
pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia panggil Kivlan Zein untuk
meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie.
Dalam pertemuan tersebut Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab
dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Kerusuhan yang
terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak
dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya
jawaban yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by
design”, dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu. Mengapa pada pagi
hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat
di Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo.
Semua terjadi
pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah
mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang
sebelumnya dan dibawah komando yang sama. Disaat massa mulai menjarah di Jakarta
disaat yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika
kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru
Jakarta sekaligus Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang
mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi
dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu
ditutup dari luar. Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah mahasiswa
atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya
dari luar?
Atau ada pihak
tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang
memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan? Sebagaimana yang kita ketahui
selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya
Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya
Soeharto? Adakah Wiranto dkk atau Prabowo? Yang jelas sesaat setelah lengsernya
Soeharto, Wiranto sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karir militer
Prabowo.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa
98, disini disampaikan bahwa sesungguhanya kejatuhan Soeharto bukan karena
demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer
yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa
jatuhanya Soeharto dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil
dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan demonstrasi mahasiswa
yang merebak dimana-mana sebagai “pemicu”nya.
Rupanya dalam suasana genting jatuhanya kekuasaan Soeharto
itu diwarnai pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira
ABRI. Akibat lemahanya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah suasana
yang tidak menentu. Masing-masing perwira berusaha mencari manfaat atas situasi
tersebut. Para perwira berusaha “berinvestasi” pada masa depan masing-masing,
setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat
jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid dibawah satu komando. Masing-masing
punya agenda sendiri-sendiri dan saling curiga satu sama lain.
Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari puspen
(pusat penerangan) ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto. Siaran pers
yang walau dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat proses
lengsernya Soeharto. Salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan
terhadap sikap PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden
Soeharto lengser.
Sebenarnya itu
bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak
ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU
itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat itu, SBY. Meski tengah malam itu
juga Wiranto membangunkan seluruh perwira untuk menarik rilis itu dari seluruh
media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Soeharto
yang tahu tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan,
terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan
Prabowo dan Wiranto karena dia menganggap Prabowo-lah yang mengadukan ini ke
Presiden.
Tanggal 18 Mei Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya
menjadi “Brutus” dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur.
Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua
DPR/MPR adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya dia
selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan dia
memperoleh segala-galanya karena Soeharto.
Namun karena
desakan mahasiswa dan tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk menyelamatkan
diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin DPR/MPR itu, disambut gegap
gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan masyarakat seluruh
Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena sekitar pukul
23:00 WIB Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak pernyataan Harmoko itu.
Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya
sebenarnya Soeharto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia ingin memastikan
pasca mundurnya dia sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang
bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19 Mei dibuatlah pertemuan dengan beberapa
tokoh masyarakat, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll,
minus Amien Rais.
Dalam pertemuan
tersebut Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan
menyiapkan pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan
mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto mengadakan rapat di Mabes.
Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul
perbedaan antara Prabowo dan Wiranto. Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa
perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at
all cost). Prabowo bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan
digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh
Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas saja
mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo agar Amien Rais
membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat
Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais
membatalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadapi Habibie, Prabowo berkata, “Pak, bapak sepuh
mungkin akan lengser siapkah anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan
Prabowo kepada Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo
meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa
tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media
jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab.
Berulang kali Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga
sebaliknya.
Prabowo yang
berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah dia ke
Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama
dengan Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Wiranto “mengadukan” tentang
manuver Prabowo yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan
para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo dengan kasar
sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo. Sambil
berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo
keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo-
hanya bisa menangis, lalu dia pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo sudah
dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam
kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima informasi
yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini
Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari
dirinya.
Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana
pembentukan Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri
ekuin di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi
bagian dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian
terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara mereka ada yang
dianggap sebagai orang-orang yang dia “selamatkan”. Malam itu Soeharto terlihat
gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka. Namun disaat-saat penuh kekecewaan
itu hadir sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir
di Cendana para mantan wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma,
Sudharmono, Try Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Soeharto memanggil Yusril
Ihza Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa besok
akan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Esok paginya, Harmoko, Syarwan
Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum menemui Soeharto
di ruang Jepara.
“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal
8 UUD 45.” Tutur Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tetapi Soeharto
melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai
menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke
ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan
presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo.
Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis
menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua
manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal
Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal
Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah
Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak
segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie.
Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk
kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan
umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
Sekitar pukul 23:00 WIB Prabowo dan Muhdi bertemu dengan
Habibie di kediamannya untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya
pada tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo mendapat kabar mengejutkan.
Bagai petir di siang bolong, Prabowo di Makostrad ditelepon Mabes AD, diminta
menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya
dicopot. Prabowo mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan
pun kamu ragu temui saya, jugan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo menemui
Habibie yang sudah menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga
saya dan keluarga mertua saya.” Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan
laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan,
dan istana. Prabowo minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Habibie menolak.
“Tidak, sampai matahari terbenam anda harus menyerahkan semua pasukan!” Dari
sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya Prabowo dikalahkan oleh lobi dan
pendekatan Wiranto. Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan
informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie. Namun
kesalahpahaman apapun itu, Prabowo sudah terlanjur menjadi pihak yang
dirugikan. Hancurlah karir militer yang begitu gilang gemilang.
Kita tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie
sama-sama salah mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto, atau memang ada
kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo mengingat persaingan
internal ABRI saat itu. Demikian akhir tulisan singkat mengenai Sang Jenderal
Terbuang. Semoga menambah wawasan dan menjadi pelajaran bagi kita semua.
Semoga artikel diatas bisa menambah wawasan Anda semua.