Breaking News
Loading...
Rabu, Februari 26, 2014

Info Post
Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, penulis buku bahaya Syiah
Salah satu instrumen kelompok Syiah untuk memperkuat eksistensinya di Indonesia adalah jalur politik. Berdasarkan fakta, anggota-anggota legislatif dari kelompok Syiah sudah mewarnai dunia perpolitikan Indonesia sejak beberapa tahun belakangan.

Sebut saja beberapa nama di antaranya Sayuti Asysyatiri (Anggota DPR 2004-2009 dari PAN) Zulfan Lindan (Anggota DPR 2005-2009 dari PDIP, sekarang Caleg Nasdem).
 
Deddy Djamaluddin Malik (Anggota DPR 2004-2009 dari PAN, sekarang caleg PDIP), Abdurrahman Bima (Anggota DPR 2009-2014 dari Demokrat) Agus Abu Bakar (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat).

Ini belum dihitung politikus Syiah yang beredar di tingkat DPRD dan kekuatan lobinya yang menembus petinggi DPR dan eksekutif.

Nama terakhir yang kian santer untuk mengikuti jejak rekan-rekannya masuk ke Senayan, adalah Jalaluddin Rakhmat. Ketua Dewan Syura Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ini maju dengan kendaraan PDIP nomor urut satu daerah pemilihan Jawa Barat (Jabar) II.

Saat ditanya wartawan apa tujuannya masuk ke gelanggan politik praktis, Jalaluddin Rakhmat tegas menjawab  ingin membela kelompok minoritas yang identik dengan kuantitas pemeluk Syiah di Indonesia.

“Boleh saya katakan, hukum impoten membela kelompok minoritas,” kata Jalaluddin Rakhmat, yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), saat berbincang dengan Rakyat Merdeka.

Tahun pemilu 2014 adalah arena pertarungan habis-habisan bagi Syiah. Bayangkan, sepanjang 2012-2013 kesadaran masyarakat atas bahaya Syiah naik berkali lipat  dengan ditandai maraknya kajian di setiap daerah.

Hal inilah yang membuat  petinggi Syiah seperti Jalaluddin Rakhmat harus “turun gunung” untuk membela Syiah yang sudah disebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai ajaran membahayakan dan menyimpang dari segi akidah.

Melihat penetrasi kelompok Syiah untuk masuk ke parlemen, tentu ini menjadi pertanyaan penting sejauh mana kesiapan dari parpol-parpol Islam untuk membendung ideologi Syiah di Indonesia.

Sepanjang pengamatan penulis belum ada upaya serius dari partai-partai yang mengidentifikasikan sebagai “aspirasi umat Islam” untuk membendung pengaruh Syiah di Indonesia.

Namun menarik untuk melihat sepak terjang kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam menanggapi isu Syiah ini. Merespon naiknya Jalaluddin Rakhmat menjadi Caleg PDIP maupun dukungannya menjadi menteri Agama, tidak sedikit dari kader yang menjadikan berita ini untuk menegaskan diri bahwa PKS layak dipilih karena hadir sebagai simbol “Partai(nya) Ahlussunah”.

Foto-foto Jalaluddin Rakhmat dan para aktifis JIL kemudian disandingkan dengan caleg dari PKS. Secara tersirat, mereka berharap masyarakat memiliki kesadaran bahwa dengan memilih PKS sama dengan menahan laju gerakan Syiah maupun tokoh liberal ke parlemen. “Ada caleg Syiah, JIL, dan PKS. Jadi pilih mana?” begitu kira-kira analoginya.

Melihat sepak terjang PKS mengantisipasi bahaya Syiah, tentu umat masih mengharapkan pembuktian. Selama ini belum ada upaya serius dari institusi PKS dalam merespon keresahan masyarakat atas merebaknya ideologi Syiah.

Padahal di lapangan, kasus gesekan antara Umat Islam dengan Syiah banyak sekali terjadi di antaranya di Sampang, Jember, Pasuruan, Solo, Bondowoso, Makassar, dan kota-kota lainnya. Bahkan di Bandung terjadi fenomena remaja sudah melakukan nikah mut’ah.

Masyarakat sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya bagaimana sebenarnya sikap PKS terhadap Syiah itu sendiri? Apakah Dewan Syariah PKS sudah mengeluarkan fatwa terkait ajaran Syiah? Di sinilah identifikasi PKS sebagai “Partai Ahlussunah” diuji.

Hidayat Nur Wahid sebagai seorang asatidz PKS yang membuat disertasi tentang Syiah justru “tumpul” dalam menyadarkan umat atas bahaya Syiah di Indonesia. Masyarakat justru lebih melihat tokoh-tokoh Islam di luar parlemen yan gigih memperkokoh Ahlussunah dari invasi Syiah seperti Ustadz Farid Okbah (Yayasan Al Islam), Ustadz Amin Djamaluddin (LPPI), Prof Baharun (MUI), Ustadz Fahmi Salim (MUI) dan lain sebagainya. Lewat berbagai kajian, seminar, dan diskusi umat Islam banyak mendapat pencerahan atas kesesatan ajaran Syiah. Dan itu, dilakukan mereka dengan cara-cara elegan dan ilmiah.

Bahkan politisi PKS Fahri Hamzah justru mendukung kelompok Syiah Sampang. Menurutnya kebebasan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945. “Tidak perlu berdebat soal Sunni-Syiah berdebatlah tentang luka dan air mata kita ini sama-sama luka,” (Itoday, Politkus PKS Bela Syiah Sampang, 26 Juni 2013).

Padahal menurut Ulama Madura yang tergabung di Badan Silaturrahmi Ulama dan Pesantren Madura (Basra), keresahan umat Islam di Madura atas Syiah sudah berlangsung sejak tahun 2003. Bahwa pihak Syiah lah yang justru memulai kericuhan di tengah masyarakat.

Jika Fahri Hamzah mendesak hak kelompok Syiah Sampang untuk menjalankan keyakinannya dipenuhi, maka ketahuilah Syiah Sampanglah yang selama ini justru merampas hak warga Ahlussunah.

Hak mereka agar para sahabat nabi tidak dicaci maki, hak mereka agar istri nabi dimuliakan, hak mereka untuk meyakini Al Qur’an adalah suci dan tidak pernah dikurangi oleh sahabat nabi. Dan, hak mereka untuk tidak disyiahkan! (Lihat: Ahmad Rofii Damyanti, Syiah di Sampang, MIUMI Press).

Dalam kasus Sampang, pihak yang dirugikan jelas Ahlussunah. Masyarakat Sampang yang kuat memegang prinsip Aswaja tentu tidak terima ketika pokok-pokok ajaran Islam justru “dinodai” secara terbuka. Apalagi invasi yang dilakukan Tajul Muluk menyasar warga Nahdlatul Ulama (NU).


Belajar dari Para Aktivis Ikhwan

Sebagai representasi dari Ikhwanul Muslimin, PKS seharusnya belajar banyak dari para aktivis Ikhwan di seantero dunia. Di Suriah, misalnya, Ikhwanul Muslimin adalah kelompok terdepan dalam menghalau ajaran Syiah yang dilancarkan Presiden Hafez Assad (Jabatan 1970-2000). Tidak heran Ulama Ikhwan di Suriah, Said Hawwa, mengeluarkan buku Khomeinisme untuk membongkar ajaran palsu Khomeini yang mendompleng nama Islam.

Dalam buku itu, Said Hawwa menelanjangi latar belakang kemunculan akidah sesat di dalam Syiah. Ulama yang terkenal dengan kitab Tazkiyatun Nafs (dijadikan rujukan ikhwan) menerangkan Syiah adalah ajaran di luar Islam yang dipengaruhi ideologi Majusi, Yahudi dan falsafah Timur dan Barat.

Said Hawwa juga mengingatkan umat Islam agar tidak mudah tertipu dengan bujuk rayu Syiah atas nama ukhuwah karena pada kenyataannya Ahlussunah mengalami penindasan besar-besaran di Iran, khususnya Teheran.

Demikian halnya dengan di Mesir. Muhammad Mursi adalah Presiden Mesir yang sangat peduli terhadap nasib Ahlussunah di Suriah.

Akibat kezaliman Bashar Assad, Mursi langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Suriah, dan menutup perwakilan Kedutaan Suriah di Kairo. Departemen Luar Negeri Mesir juga memerintahkan Kuasa Usaha Suriah, yang mewakili kepentingan pemerintah Suriah, segera meninggalkan Kairo.

Di sisi lain, para tokoh Ikhwanul Muslimin menyerukan kepada kaum Muslimin, dan aktivis Ikhwan di Mesir, dan negara-negara Arab, agar segera pergi berjihad menyelamatkan kaum Muslimin di Suriah yang terancam oleh kekejaman rezim Syiah Nushairiyah.

Jika selama ini kader PKS selalu menjadikan Gaza dan Palestina sebagai isu utama dalam kemanusiaan, maka ketahuilah bagaimana kegigihan rakyat Gaza dalam memerangi ajaran Syiah.

Bahkan dalam perbincangannya dengan penulis, Doktor hadis asal Gaza, Syekh DR. Wail Alzard, mengaku bahwa satu-satunya daerah di dunia yang bebas dari Syiah adalah Gaza.

“Kami memegang prinsip sebagaimana disunahkan oleh Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan para sahabat bahwa yang bisa membebaskan masjid Al Aqsha adalah Ahlussunah. Itu sama sekali tidak ada keraguan!”


Potensi untuk Melawan Ajaran Syiah

Tentu sebagai salah satu partai Islam besar di Indonesia, PKS memiliki potensi luar biasa untuk memainkan perannya sebagai “Partai Ahlussunah”. Hemat penulis, kader-kader PKS di lapangan memiliki semangat untuk melawan ajaran Syiah.

Kisah elite PKS untuk menahan laju Syiah juga tidak sedikit. Pada April 2012, misalnya, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menggelar acara untuk “Merumuskan Langkah Strategis Untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syi’ah”.

Kegiatan ini dibuka oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dan dihadiri oleh Wali Kota Bandung, Dada Rosada kala itu.

Dalam sambutannya Ahmad Heryawan menyambut baik acara tersebut. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa salah satu tugas ulama adalah menjaga aqidah umat.

“Fatwa ulama sudah jelas tentang posisi Syiah ini dalam keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah, maka sikap kita juga harus jelas juga,” katanya di hadapan para ulama dari berbagai pesantren dan ormas Islam yang ada di Indonesia seperti Persis, Muhamadiyah, NU, Hidayatullah, Al Irsyad, DDII, PUI, termasuk MUI Pusat.

Langkah Ahmad Heryawan bergandengan dengan ulama dalam masalah Syiah, juga diikuti Bupati Karawang, Drs. H. Ade Swara, MH.

Dalam acara Tabligh Akbar “Mewaspadai Kesesatan Syiah di Indonesia” di Islamic Centre Karawang, Ahad lalu. Bupati dari PKS ini mengatakan kajian ilmiah untuk membuka kesesatan Syiah seperti ini harus tetap dijalankan.
“Pencerahan kepada masyarakat harus terus diupayakan. Jelaskan bagaimana (hakekat) Islam, bagaimana (hakekat) Syiah. Kembalikan semua (argumentasi) kepada Al Qur’an dan Sunnah,” ujarnya di hadapan ribuan umat Islam yang hadir.

Dengan sikap seperti di atas, Ahmad Heryawan dan Ade Swara sebenarnya berpeluang besar untuk mengeluarkan peraturan daerah untuk melarang penyebaran ajaran Syiah seperti dilakukan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Meski bukan berasal dari partai Islam, Soekarwo berani mengeluarkan peraturan tersebut karena perkembangan Syiah di Jawa Timur sangat mengkhawatirkan.

Ahmad Heryawan dan Ade Swara tentu bisa mengikuti jejak Soekarwo bahkan melampauinya. Mengingat keduanya berasal dari partai muslim dengan sumber daya kader dan jaringan ulama yang melimpah di Jawa Barat.

Jaringan kader yang begitu luas ini sangat potensial untuk digerakkan dalam melawan virus Syiah. Sebab, sayang jika potensi sebanyak itu hanya digerakkan untuk hal yang sifatnya politik semata. Penulis yakin, para kader PKS di lapangan siap dikerahkan untuk itu lewat satu kata bernama “taklimat”.
Tinggal apakah PKS secara institusi mau memainkan peran itu? Agar identitas PKS sebagai partai Sunni menjadi reasonable di mata umat. Wallahu a’lam.

_____

LIKE and SHARE

.......... BACA SELANJUTNYA