Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, penulis buku bahaya Syiah
Salah satu instrumen kelompok Syiah untuk memperkuat eksistensinya di
Indonesia adalah jalur politik. Berdasarkan fakta, anggota-anggota
legislatif dari kelompok Syiah sudah mewarnai dunia perpolitikan
Indonesia sejak beberapa tahun belakangan.
Sebut saja beberapa nama di antaranya Sayuti Asysyatiri (Anggota DPR
2004-2009 dari PAN) Zulfan Lindan (Anggota DPR 2005-2009 dari PDIP,
sekarang Caleg Nasdem).
Deddy Djamaluddin Malik (Anggota DPR 2004-2009 dari PAN, sekarang
caleg PDIP), Abdurrahman Bima (Anggota DPR 2009-2014 dari Demokrat) Agus
Abu Bakar (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat).
Ini belum dihitung politikus Syiah yang beredar di tingkat DPRD dan kekuatan lobinya yang menembus petinggi DPR dan eksekutif.
Nama terakhir yang kian santer untuk mengikuti jejak rekan-rekannya
masuk ke Senayan, adalah Jalaluddin Rakhmat. Ketua Dewan Syura Jama’ah
Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ini maju dengan kendaraan PDIP nomor urut
satu daerah pemilihan Jawa Barat (Jabar) II.
Saat ditanya wartawan apa tujuannya masuk ke gelanggan politik
praktis, Jalaluddin Rakhmat tegas menjawab ingin membela kelompok
minoritas yang identik dengan kuantitas pemeluk Syiah di Indonesia.
“Boleh saya katakan, hukum impoten membela kelompok minoritas,” kata
Jalaluddin Rakhmat, yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait
Indonesia (IJABI), saat berbincang dengan Rakyat Merdeka.
Tahun pemilu 2014 adalah arena pertarungan habis-habisan bagi Syiah.
Bayangkan, sepanjang 2012-2013 kesadaran masyarakat atas bahaya Syiah
naik berkali lipat dengan ditandai maraknya kajian di setiap daerah.
Hal inilah yang membuat petinggi Syiah seperti Jalaluddin Rakhmat
harus “turun gunung” untuk membela Syiah yang sudah disebut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai ajaran membahayakan dan menyimpang dari
segi akidah.
Melihat penetrasi kelompok Syiah untuk masuk ke parlemen, tentu ini
menjadi pertanyaan penting sejauh mana kesiapan dari parpol-parpol Islam
untuk membendung ideologi Syiah di Indonesia.
Sepanjang pengamatan penulis belum ada upaya serius dari
partai-partai yang mengidentifikasikan sebagai “aspirasi umat Islam”
untuk membendung pengaruh Syiah di Indonesia.
Namun menarik untuk melihat sepak terjang kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dalam menanggapi isu Syiah ini. Merespon naiknya
Jalaluddin Rakhmat menjadi Caleg PDIP maupun dukungannya menjadi menteri
Agama, tidak sedikit dari kader yang menjadikan berita ini untuk
menegaskan diri bahwa PKS layak dipilih karena hadir sebagai simbol
“Partai(nya) Ahlussunah”.
Foto-foto Jalaluddin Rakhmat dan para aktifis JIL kemudian
disandingkan dengan caleg dari PKS. Secara tersirat, mereka berharap
masyarakat memiliki kesadaran bahwa dengan memilih PKS sama dengan
menahan laju gerakan Syiah maupun tokoh liberal ke parlemen. “Ada caleg
Syiah, JIL, dan PKS. Jadi pilih mana?” begitu kira-kira analoginya.
Melihat sepak terjang PKS mengantisipasi bahaya Syiah, tentu umat
masih mengharapkan pembuktian. Selama ini belum ada upaya serius dari
institusi PKS dalam merespon keresahan masyarakat atas merebaknya
ideologi Syiah.
Padahal di lapangan, kasus gesekan antara Umat Islam dengan Syiah
banyak sekali terjadi di antaranya di Sampang, Jember, Pasuruan, Solo,
Bondowoso, Makassar, dan kota-kota lainnya. Bahkan di Bandung terjadi
fenomena remaja sudah melakukan nikah mut’ah.
Masyarakat sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya bagaimana
sebenarnya sikap PKS terhadap Syiah itu sendiri? Apakah Dewan Syariah
PKS sudah mengeluarkan fatwa terkait ajaran Syiah? Di sinilah
identifikasi PKS sebagai “Partai Ahlussunah” diuji.
Hidayat Nur Wahid sebagai seorang asatidz PKS yang membuat disertasi
tentang Syiah justru “tumpul” dalam menyadarkan umat atas bahaya Syiah
di Indonesia. Masyarakat justru lebih melihat tokoh-tokoh Islam di luar
parlemen yan gigih memperkokoh Ahlussunah dari invasi Syiah seperti
Ustadz Farid Okbah (Yayasan Al Islam), Ustadz Amin Djamaluddin (LPPI),
Prof Baharun (MUI), Ustadz Fahmi Salim (MUI) dan lain sebagainya. Lewat
berbagai kajian, seminar, dan diskusi umat Islam banyak mendapat
pencerahan atas kesesatan ajaran Syiah. Dan itu, dilakukan mereka dengan
cara-cara elegan dan ilmiah.
Bahkan politisi PKS Fahri Hamzah justru mendukung kelompok Syiah
Sampang. Menurutnya kebebasan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945.
“Tidak perlu berdebat soal Sunni-Syiah berdebatlah tentang luka dan air
mata kita ini sama-sama luka,” (Itoday, Politkus PKS Bela Syiah Sampang, 26 Juni 2013).
Padahal menurut Ulama Madura yang tergabung di Badan Silaturrahmi
Ulama dan Pesantren Madura (Basra), keresahan umat Islam di Madura atas
Syiah sudah berlangsung sejak tahun 2003. Bahwa pihak Syiah lah yang
justru memulai kericuhan di tengah masyarakat.
Jika Fahri Hamzah mendesak hak kelompok Syiah Sampang untuk
menjalankan keyakinannya dipenuhi, maka ketahuilah Syiah Sampanglah yang
selama ini justru merampas hak warga Ahlussunah.
Hak mereka agar para sahabat nabi tidak dicaci maki, hak mereka agar
istri nabi dimuliakan, hak mereka untuk meyakini Al Qur’an adalah suci
dan tidak pernah dikurangi oleh sahabat nabi. Dan, hak mereka untuk
tidak disyiahkan! (Lihat: Ahmad Rofii Damyanti, Syiah di Sampang, MIUMI Press).
Dalam kasus Sampang, pihak yang dirugikan jelas Ahlussunah.
Masyarakat Sampang yang kuat memegang prinsip Aswaja tentu tidak terima
ketika pokok-pokok ajaran Islam justru “dinodai” secara terbuka. Apalagi
invasi yang dilakukan Tajul Muluk menyasar warga Nahdlatul Ulama (NU).
Belajar dari Para Aktivis Ikhwan
Sebagai representasi dari Ikhwanul Muslimin, PKS seharusnya belajar
banyak dari para aktivis Ikhwan di seantero dunia. Di Suriah, misalnya,
Ikhwanul Muslimin adalah kelompok terdepan dalam menghalau ajaran Syiah
yang dilancarkan Presiden Hafez Assad (Jabatan 1970-2000). Tidak heran
Ulama Ikhwan di Suriah, Said Hawwa, mengeluarkan buku Khomeinisme untuk membongkar ajaran palsu Khomeini yang mendompleng nama Islam.
Dalam buku itu, Said Hawwa menelanjangi latar belakang kemunculan akidah sesat di dalam Syiah. Ulama yang terkenal dengan kitab Tazkiyatun Nafs
(dijadikan rujukan ikhwan) menerangkan Syiah adalah ajaran di luar
Islam yang dipengaruhi ideologi Majusi, Yahudi dan falsafah Timur dan
Barat.
Said Hawwa juga mengingatkan umat Islam agar tidak mudah tertipu
dengan bujuk rayu Syiah atas nama ukhuwah karena pada kenyataannya
Ahlussunah mengalami penindasan besar-besaran di Iran, khususnya
Teheran.
Demikian halnya dengan di Mesir. Muhammad Mursi adalah Presiden Mesir yang sangat peduli terhadap nasib Ahlussunah di Suriah.
Akibat kezaliman Bashar Assad, Mursi langsung memutuskan hubungan
diplomatik dengan Suriah, dan menutup perwakilan Kedutaan Suriah di
Kairo. Departemen Luar Negeri Mesir juga memerintahkan Kuasa Usaha
Suriah, yang mewakili kepentingan pemerintah Suriah, segera meninggalkan
Kairo.
Di sisi lain, para tokoh Ikhwanul Muslimin menyerukan kepada kaum
Muslimin, dan aktivis Ikhwan di Mesir, dan negara-negara Arab, agar
segera pergi berjihad menyelamatkan kaum Muslimin di Suriah yang
terancam oleh kekejaman rezim Syiah Nushairiyah.
Jika selama ini kader PKS selalu menjadikan Gaza dan Palestina
sebagai isu utama dalam kemanusiaan, maka ketahuilah bagaimana kegigihan
rakyat Gaza dalam memerangi ajaran Syiah.
Bahkan dalam perbincangannya dengan penulis, Doktor hadis asal Gaza,
Syekh DR. Wail Alzard, mengaku bahwa satu-satunya daerah di dunia yang
bebas dari Syiah adalah Gaza.
“Kami memegang prinsip sebagaimana disunahkan oleh Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dan para sahabat bahwa yang bisa membebaskan masjid Al Aqsha adalah Ahlussunah. Itu sama sekali tidak ada keraguan!”
Potensi untuk Melawan Ajaran Syiah
Tentu sebagai salah satu partai Islam besar di Indonesia, PKS
memiliki potensi luar biasa untuk memainkan perannya sebagai “Partai
Ahlussunah”. Hemat penulis, kader-kader PKS di lapangan memiliki
semangat untuk melawan ajaran Syiah.
Kisah elite PKS untuk menahan laju Syiah juga tidak sedikit. Pada
April 2012, misalnya, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menggelar acara
untuk “Merumuskan Langkah Strategis Untuk Menyikapi Penyesatan dan
Penghinaan Para Penganut Syi’ah”.
Kegiatan ini dibuka oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dan dihadiri oleh Wali Kota Bandung, Dada Rosada kala itu.
Dalam sambutannya Ahmad Heryawan menyambut baik acara tersebut. Lebih
lanjut dia menegaskan bahwa salah satu tugas ulama adalah menjaga
aqidah umat.
“Fatwa ulama sudah jelas tentang posisi Syiah ini dalam
keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah, maka sikap kita juga harus jelas
juga,” katanya di hadapan para ulama dari berbagai pesantren dan ormas
Islam yang ada di Indonesia seperti Persis, Muhamadiyah, NU,
Hidayatullah, Al Irsyad, DDII, PUI, termasuk MUI Pusat.
Langkah Ahmad Heryawan bergandengan dengan ulama dalam masalah Syiah, juga diikuti Bupati Karawang, Drs. H. Ade Swara, MH.
Dalam acara Tabligh Akbar “Mewaspadai Kesesatan Syiah di Indonesia”
di Islamic Centre Karawang, Ahad lalu. Bupati dari PKS ini mengatakan
kajian ilmiah untuk membuka kesesatan Syiah seperti ini harus tetap
dijalankan.
“Pencerahan kepada masyarakat harus terus diupayakan. Jelaskan
bagaimana (hakekat) Islam, bagaimana (hakekat) Syiah. Kembalikan semua
(argumentasi) kepada Al Qur’an dan Sunnah,” ujarnya di hadapan ribuan
umat Islam yang hadir.
Dengan sikap seperti di atas, Ahmad Heryawan dan Ade Swara sebenarnya
berpeluang besar untuk mengeluarkan peraturan daerah untuk melarang
penyebaran ajaran Syiah seperti dilakukan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.
Meski bukan berasal dari partai Islam, Soekarwo berani mengeluarkan
peraturan tersebut karena perkembangan Syiah di Jawa Timur sangat
mengkhawatirkan.
Ahmad Heryawan dan Ade Swara tentu bisa mengikuti jejak Soekarwo
bahkan melampauinya. Mengingat keduanya berasal dari partai muslim
dengan sumber daya kader dan jaringan ulama yang melimpah di Jawa Barat.
Jaringan kader yang begitu luas ini sangat potensial untuk digerakkan
dalam melawan virus Syiah. Sebab, sayang jika potensi sebanyak itu
hanya digerakkan untuk hal yang sifatnya politik semata. Penulis yakin,
para kader PKS di lapangan siap dikerahkan untuk itu lewat satu kata
bernama “taklimat”.
Tinggal apakah PKS secara institusi mau memainkan peran itu? Agar identitas PKS sebagai partai Sunni menjadi reasonable di mata umat. Wallahu a’lam.