Kecaman datang dari berbagai kalangan menanggapi rencana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mengimpor 500-2500 kapal dari Cina demi memenuhi kebutuhan tol laut yang menjadi salah satu program unggulannya.
Banyak yang menilai rencana ini sebagai bentuk ketidakadilan terhadap industri perkapalan dalam negeri. Salah satu kecaman tersebut berasal dari Direktur Utama PT. Industri Kapal Indonesia (IKI), Saiful A Bandung Bismono.
Ia menilai bahwa sikap tersebut dapat mengancam produksi kapal nasional yang kini tengah bergairah bahkan mematikan produksi kapal utamanya yang menjadi kewajiban dari PT IKI selaku perusahaan BUMN yang selama ini dipercaya pemerintah.
“Rencana impor tersebut sangat merugikan dan sebaiknya tidak dilakukan. Mestinya yang perlu dilakukan pemeritah terus mendukung perkembangan industri kapal dalam negeri,” katanya.
Saiful melanjutkan, produksi kapal nasional tak kalah dengan luar negeri, ditambah dengan tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) yang sudah terlatih dan profesional. Bahkan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seluruh tenaga ahli telah disertifikasi agar bisa bersaing dengan tenaga ahli lainnya di ASEAN.
Kecaman serupa turut dilontarkan oleh Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam, ia mengatakan bahwa rencana impor kapal tersebut amat meresahkan pelaku usaha galangan kapal nasional. Karena hal itu dapat membuat pelaku usaha angkutan laut enggan untuk membangun kapal baru di dalam negeri.
Dinilai bahwa pernyataan tersebut seolah mencitrakan industri galangan kapal nasional tidak mampu. Eddy bahkan memberikan tantangan kepada pihak yang meragukan perusahaan Galangan kapal untuk memproduksi kapal. “Siapa bilang galangan kapal nasional tidak mampu membangun kapal? Silakan pesan, dan kalau jelas syarat pembayarannya, kami akan laksanakan pembangunan kapal-kapal tersebut,” kata Eddy di Jakarta.
Eddy menilai bahwa kemampuan galangan nasional kini sedang terus tumbuh, seiring dengan program pemberdayaan angkutan laut nasional. Namun, pertumbuhan tersebut belum maksimal lantaran adanya hambatan kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai memberatkan. (ayotimnas)