JAKARTA - Salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian publik dan sarat dengan kepentingan politis adalah kasus “pembobolan” Bank Century melalui bailout sebesar lebih dari Rp 6,7 triliun. Kasus ini sarat dengan kepentingan politis karena sebelumnya terjadi tarik menarik untuk menyelesaikannya apakah diselesaikan melalui politik (DPR-RI sebagai pengadilnya) atau melalui mekanisme hukum (KPK yang mempeloporinya). Akhirnya, akal waras anggota legislatif menyepakati penyelesaian kasus bailout Century melalui mekanisme hukum yang berlaku dimana KPK dan lembaga penegak hukum lainnya sebagai leading sector.
Namun setelah keputusan menyelesaikan kasus Century diserahkan kepada KPK sejak lebih dari 1 tahun yang lalu, ternyata upaya KPK pimpinan Abraham Samad untuk menyelesaikan kasus ini bagaikan “jalannya siput” alias sangat lambat sekali, sehingga banyak kalangan yang mengira bahwa kasus ini pasti melibatkan orang-orang top dan berkuasa, sehingga KPK juga “keder” mengatasinya dan menunggu momentum tepat untuk menyelesaikan yaitu ketika penguasa atau orang kuat tersebut misalnya sudah tidak menjabat lagi.
Salah satu indikasi semakin menguatnya penyelesaian kasus Century seiring dengan masa jabatan tokoh kuat yang diduga terlibat dalam kasus ini akan berakhir juga semakin menguat, antara lain melalui pendapat-pendapat yang dikemukakan opinion leader di Indonesia.
Bambang Soesatyo yang juga anggota Timwas Century DPR-RI mengatakan, saat bersaksi untuk terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tipikor, mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono tidak memberikan jawaban yang tegas tentang tanggung jawab atas pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), sehingga terkesan melempar tanggung jawab dalam pemberian FPJP kepada para deputi Gubernur BI dan menggunakan tekanan krisis sebagai alasan. Boediono telah menggambarkan kepada majelis hakim bahwa perannya hanya sampai pada tahap merubah Peraturan Bank Indonesia, sedangkan penanggung jawab pemberian FPJP berada di tiga Deputi Gubernur BI yaitu Budi Mulya, Budi Rochadi dan Siti Fadjriah (okezone.com tanggal 10 Mei 2014).
Menurut Bambang Soesatyo, pengadilan tipikor dan jaksa KPK untuk menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pengadilan terkait kasus Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya. Kesaksian presiden merupakan konsekuensi logis, karena mantan Gubernur BI, Boediono sudah memperjelas posisi presiden dalam proses penyelamatan Bank Century tahun 2008. Selain itu, pengakuan Boediono bahwa dirinya telah melaporkan kondisi dan status Bank Century kepada presiden merupakan pembenaran atas pernyataan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum yang juga pernah menyatakan Presiden SBY tahu seluk beluk skandal kasus itu.
Sementara itu, Misbakhun yang juga inisiator hak angket Century mengatakan, keterangan mantan Gubernur BI yang sekarang menjabat sebagai Wapres RI, Boediono juga mengonfirmasi disposisi Siti Ch Fadjriahn pada 31 Oktober 2008 terkait dengan surat dari Zainal Abidin yang mengatasnamakan Bank Centiry tidak layak. Dalam kesaksian Boediono mempunyai kejanggalan untuk kasus menjerat Budi Mulya di pengadilan tindak pidana korupsi dinilai telah mengonfirmasi beberapa fakta yang muncul dalam persidangan terdahulu, sehingga status Boediono layak untuk dinaikkan menjadi tersangka. Dengan fakta-fakta persidangan yang ada, sangat jelas kelihatan keterlibatan Wapres Boediono (Media Indonesia, 10 Mei 2014)
Selain Century, masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan di Indonesia antara lain kasus Hambalang yang juga melibatkan beberapa orang top di negeri ini.
Sebelumnya, kasus korupsi juga ditemukan melalui dokumen audit BPK pada akhir Juni 2013 yang sudah diterima Kemenag, menemukan dugaan penyimpangan penggunaan anggaran penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012 sedikitnya Rp 4 miliar. Penyimpangan terbesar terjadi pada kelebihan bayar kegiatan operasional sebesar Rp 1,6 milyar. Penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
Nilai pengadaan barang dan jasa plus biaya operasional penyelenggaraan haji 2012 mencapai Rp 88,33 milyar. ICW sudah melaporkan dugaan penyelewengan dana haji sejak 2006 sampai 2012 kepada KPK mencapai Rp 5 triliun (Koran Tempo, 12 Februari 2014).
Berdasar riset ICW tahun 2012, dalam pengelolaan subsidi anggaran tahunan dari APBN sesuai amanat UU Parpol, penyerapan dan penggunaan anggaran senilai Rp 9 miliar per tahun untuk 9 DPP partai politik masih tidak transparan penggunaannya.
Capres Mana Yang Mampu?
Menurut Lawrence Lessig (Harvard University, 2013), korupsi institusional terjadi ketika ada pengaruh strategik dan sistematik yang legal, bahkan etis yang menghambat efektivitas dan meruntuhkan kepercayaan publik pada suatu institusi.
Dalam ilmu politik kontemporer, korupsi konvensional biasanya digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pemahaman berdasarkan jabatan publik, kepentingan publik dan pasar. Berdasarkan jabatan publik memandang korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan personal.
Berdasarkan kepentingan publik, memandang korupsi merugikan kepentingan publik, sedangkan pemahaman pasar mempersepsikan korupsi sebagai berfungsinya pasar bebas dalam transaksi kewenangan publik, terutama bila tidak ada aturan yang jelas yang mengatur tindakan korup tersebut (Brown, 2004).
Kembali kepada pertanyaan mendasar artikel ini adalah siapa figur capres yang mampu untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia ? Maka jawabannya yang pertama adalah dilihat dari program kerjanya. Kalau pasangan capres-cawapres tersebut menetapkan program kerja penegakkan hukum menjadi andalannya, maka kasus korupsi kemungkinan dapat terlesaikan, meskipun akan mendapatkan perlawanan dari kalangan “konglomerat hitam” yang berkolaborasi dengan koruptor dengan beragam cara (at all means).
Capres atau cawapres tersebut harus didukung oleh koalisi parpol yang “relatif bersih” dari praktek-praktek korupsi, sehingga dapat memberantas korupsi dengan cepat tanpa harus khawatir terkena dirinya sendiri atau “air didulang terpercik muka sendiri”. Jika kriteria yang dipakai ini, maka hampir semua parpol “dihinggapi” oleh kader-kadernya yang pernah memakan uang korupsi.
Tinggal faktor selanjutnya yaitu pasangan capres-cawapres yang ada juga harus memperhatikan lingkungannya, artinya harus berhati-hati dalam memilih teman koalisi, karena koalisi politik di era saat ini dapat ditujukan bukan hanya untuk bagi-bagi kursi, namun tidak menutup kemungkinan untuk menutupi kasus korupsinya tidak dibongkar-bongkar lagi setidaknya untuk 5 tahun kedepan, sehingga baik PDIP ataupun Gerindra yang sedang menjadi primadona dalam pembentukan koalisi harus waspada jangan sampai koalisi yang dibentuknya “didomplengi” oleh kalangan koruptor untuk penyelamatannya.
Last but not least, pemberantasan korupsi ke depan juga sangat ditentukan oleh figur capresnya sendiri serta dana pemenangan Pilpres tersebut apakah berasal dari dana yang bersih atau “dana siluman (termasuk dana koruptor)” di dalamnya. Menurut penulis, sejauh ini tidak ada satupun capres dan cawapres yang mampu untuk memberantas korupsi di Indonesia, karena sebenarnya saat ini kita tidak memiliki stok pemimpin bangsa yang baik hati seperti Soekarno, Hatta, Soedirman, Pangeran Diponegoro, I Gusti Ngurah Rai ataupun Bung Tomo dll di era dulu yang berjuang tanpa pamrih dan tanpa balas jasa.
Bangsa ini mengalami degradasi peringkat dalam mempersiapkan kader pemimpin bangsa yang mumpuni, karena praktek KKN yang sudah membumi dan talent of national leader spotting yang berjalan di tempat.
[tribunnews]