Wakil Presiden Jusus Kalla punya cara
berpolitik yang sangat norak. Ambisi saudagar asal Makasar itu tak pernah
surut. Tak peduli etika dan moral, segalanya dilakukan demi mempermulus
kekuasaan tanpa batas.
Bagi
Jusuf Kalla, kekuasaan yang besar harus diraih, agar negara dan rakyat takluk
pada kemauan pribadi dan kelompoknya. Negara baginya adalah lapak empuk untuk
mengais keuntungan secara politis dan finansial.
Untuk
menguasai negara dan pemerintahan, maka jalan pintas pun dibuat. Yakni,
melakukan segala upaya mengambil alih partai Golkar. Ketika Golkar berada dalam
kendalinya, semua agenda terselubung dapat berjalan mulus.
Atas
tujuan busuk tersebut, tak heran Golkar sebagai lokomotif Koalisi Merah Putih
(KMP) menjadi arena pertarungan politik paling sengit. Pertarungan antara kubu
JK yang pro pada kepentingan asing melawan kubu ARB yang konsisten menghendaki
Golkar dan KMP solid sebagai kekuatan kontrol di parlemen.
Melalui
Munas IX Golkar di Bali, ARB secara aklamasi terpilih kembali. Mayoritas DPD I
dan DPD II bersepakat memberi mandat kepada ARB untuk memimpin Golkar dan
memperkuat agenda KMP. Prosesi Munas itu berjalan damai, legal dan transparan.
Namun
di luar arena Munas, JK melakukan serangkaian manuver untuk berupa penghadangan
melalui jalur "politik premanisme". Yakni, memunculkan Munas
tandingan sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan Munas Bali. Arahnya
jelas, untuk menciptakan kekacauan dan penghancuran atas institusi Golkar.
Bila
operasi "politik premanisme JK" dibiarkan, maka ke depan sejumlah
partai yang dianggap kritis dan bersebrangan dengan rezim Jokowi - JK akan
menuai nasib serupa. Artinya, tidak akan ada satu partai pun yang akan menjadi
alat kontrol atas kekuasaan Jokowi - JK.
Walhasil,
politik premanisme telah dijadikan sebagai instrumen kekuasaan Jokowi - JK
untuk melenyapkan lawan-lawan politiknya yang dianggap bersebrangan dengan
kepentingan mereka. Inikah wajah baru Indonesia yang begitu amburadul...?
salam
Ketua Progres 98